“Nantilah, sayang. Tunggu ayah gajian ya.” Seperti biasa Naning membujuk putranya semata wayang.
“Nggak mau! Maunya sekarang!”
“Eeh, Bima kenapa?” tanyaku saat melihat Bima kecil berlari keluar kamar. “Ning?”
Naning berusaha tersenyum sembari meletakkan baju koko dan mukena yang baru saja disetrika.
“Unjuk rasa.” “Bima mengancam mogok puasa jika tak dibelikan hadiah.”
“Lah, kecil-kecil kok mogok,” ujar ibu nimbrung.
“Sebentar lagi kan lebaran. Bilang Bima, besok aku yang belikan.”
“Hush! Jangan dibiasakan. Bukan perkara ada atau tidak ada uang. Bima hanya harus belajar menahan keinginannya. Tak semua harus dituruti, Mir.”
Tak hanya Naning, ibu juga menatapku kesal. Lagi-lagi aku yang salah. Terlalu memanjakan Bima, selalu begitu dalihnya. Salahkah? Bagaimana jika yang kau manjakan itu adalah seorang bocah yang selalu kau rindukan kedatangannya? Seorang putera yang tak mungkin bisa kau miliki dari rahimmu sendiri?
“Mir, hari ini ke pasar sendiri ya. Aku harus mengantar barang ke rumah paman. Hmm?”
Aku mengangguk. “Hati-hati, Mas.”