"Ya," singkat saja jawabnya. Asap yang mengepul di antara jarinya membentuk samar hatinya.
Matanya melirik pada jemariku. Mungkin dia melihat hatinya masih kuikat di situ.
Kulihat gelisah pada matanya.
"Tak usah merasa bersalah. Aku yang bodoh," kataku memecah kegelisahan yang ada.
"Maafkan aku," ucapnya.
"Aku tak bisa menolaknya waktu itu. Karena budi aku terjebak," lanjutnya.
"Sudahlah. Duniaku tidak memerlukan pembelaanmu. Aku masih menyimpannya karena untukku ini adalah hal yang istimewa," jelasku sembari mengelus sekeping hati yang masih melingkar di jari.
"Masih bisakah aku memilikimu?" tanyanya.
"Hatiku tetap menjadi milikmu meskipun tidak dalam kenyataanya," jawabku.
"Aku sudah melewatkan banyak hal dan rasanya sakit sekali," ucapnya dengan tertunduk.
Sinar keemasan tiba pada netraku. Menyilaukan dalam kehangatan.