"Pak Abdul, tidak tahu dimana sekarang."
Begitulah percakapan antara Guru Agama Islam dan Guru Bahasa Indonesia yang memberhentikan langkah Lilian. Tangis histeris berkerumun. Aspal di lapangan mulai retak, seolah akan terbelah, Lilian cepat-cepat berlari, sambil menatap pergelangan tangannya yang masih diinjak Simanis.
Tetap bertahan disitu, Aku akan menjagamu.
Tidak sampai sepuluh detik, kaki Lilian tersandung sesuatu keras yang membuat tubuhnya terpental jauh dan terperosok ke sebuah lubang yang sepertinya terbentuk akibat retakan tadi, keningnya terbentur kerikil,membuat dirinya sedikit takut untuk membuka mata, karena di dalam lubang ini, guncangan semakin dahsyat.
"Tolong!" Lilian mendengar sesuatu, dengan sedikit rintihan ia menoleh ke samping kiri, ternyata lubang ini menurun, ia belum sampai dasar, ada seseorang di dalam sana, ia segera menjulurkan tangannya ke arah kiri.
"Kamu di sana?" Tanya Lilian mencoba memastikan.
"Ya... Tidak ada oksigen. Sesak!."
Ia rasa postur tubuhnya yang besar cukup kuat untuk membantu seseorang bersuara laki-laki itu, walau guncangan semakin dahsyat, ia mencoba menyeimbangkan.
"Aku disini, genggam tanganku."
Tangan dari bawah menggapai pergelangan tangannya, lalu menggenggamnya erat. Tidak! Simanis tergencet tangan lelaki itu, Simanis mati. Sementara Lilian terus mencoba menarik tubuhnya ke belakang dan terus berdoa supaya energinya belum habis dan masih kuat. Kuat sekuat tenaga. Gempa semakin menjadi-jadi, suara hentakan kaki yang berlari dari atas terus terdengar, namun lelaki itu tak kunjung keluar dari lubang dasar.
"Kenapa diam? Ayo keluar dari sini."