Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benang Merah (Tentang Ayi dan Nana - Bagian 3)

10 Desember 2011   18:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:33 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita sebelumnya:

Ayi, Nana dan saya adalah teman satu kosan. Ayi meminjam charger ponsel Nana namun tidak kunjung mengembalikan. Karena kesal dan sangat membutuhkannya, akhirnya saya dan Nana memutuskan untuk masuk tanpa ijin ke kamar Ayi dengan kunci cadangan milik penjaga kos. Nana mendapatkan barang yang dicari, namun kami berdua merasa ada yang janggal. (Bagian 1 - Bagian 2)

***

Seminggu berlalu sejak saya dan Nana masuk ke kamar Ayi. Ayi masih belum terlihat batang hidungnya. Lima jam yang lalu, ketika saya sedang mengerjakan tugas di lab, Nana menelfon. Memberitahu bahwa Ayi benar-benar hilang dan menyuruh saya segera pulang karena dia sedang bingung. Tugas kuliah saya masih banyak dan harus dikumpulkan besok pagi jam tujuh. Tapi perkara Ayi menghilang ini terlalu menarik untuk dilewatkan.

Untunglah ini tugas kelompok dan saya paham istilah "opor, kependekan dari "oportunis". Dengan sedikit basa-basi dan manipulasi di kiri dan kanan, saya berhasil pulang lebih dulu dan meninggalkan teman kelompok saya menyelesaikan tugas.

Dan sekarang di sinilah kami. Saya dan Nana, duduk berhadapan di kamar Ayi, lengkap dengan tisu, rokok, dan bir. Nana menangis. Saya sedikit bingung.

"Ayi bener-bener ngilang, Sel. Anak-anak jurusan pada nanya ke gw, si Ayi ke mana, gw bener-bener ga bisa jawab. Dan gw baru sadar, selama ini gw tuh ga bener-bener kenal Ayi. Gw bahkan ga tahu dia itu rumahnya di mana. Tinggalnya di mana."

Nana  bicara pelan.

"Gw udah ke tata usaha jurusan, nyari alamatnya si Ayi. Gw coba hubungin semua nomor kontaknya. Nomor rumahnya salah sambung, nomor telfon ayah ibunya ga nyambung. Kemarin gw bujuk-bujuk Aji nyari rumahnya Ayi. Ketemu sih, tapi itu bukan rumahnya Ayi."

Saya bengong. Nana menghela nafas.

"Jadi Sela, kesimpulannya gw bener-bener ga tahu Ayi di mana."

Hening. Rasanya aneh tiba-tiba mendapat berita bahwa teman satu kosan kita menghilang. Saya mencoba bersikap lebih masuk akal.

"Hmmm, tapi Na, itu kesompulan kayaknya aga berlebihan deh. Iya sih, emang Ayi bener-bener ga kelihatan sudah hampir dua minggu. Tapi buat gw, itu biasa. Maksudnya, sering juga kok gw ga ngeliat salah satu dari kalian lebih dari dua minggu dan ga ada apa-apa. Mungkin karena gw beda jurusan dan beda angkatan sama kalian juga kali ya."

"Ya tapi kan walaupun lo ga ngeliat kita berdua lebih dari dua minggu, gw sama Ayi barengan. Sekarang kan engga. Lo sama gw sama-sama ga  ngeliat dia lebih dari dua minggu ini. Dan ini bukan liburan semester. Ini masa-masa kuliah. Gw mulai mikir yang enggak-enggak Sela. Aduh, banyak bangetlah yang pingin gw ceritain."

Penjelasan Nana masuk akal. Saya mulai mengerti mengapa sekarang dia terlihat panik. Atau lebih tepatnya mungkin merasa bersalah. Bir dan rokok biasanya untuk orang yang ada masalah kan? Pasti ada sesuatu dibalik Ayi menghilang ini.

"Ya udah  sih Na, cerita aja. Gw udah bela-belain opor sama anak kelompok gw buat dengerin lo Na"

Nana menghisap dalam-dalam rokoknya, memejamkan mata sambil memikit-mikit keningnya. Lalu menatap saya lurus-lurus.

"Gw curiga Ayi hamil, Sel."

Deg. Jantung saya berdegup kencang. Bila ini sinetron, maka inilah saat wajah saya diberi perbesaran beberapa kali dengan irama musik mencekam. Jeng jeng jeng!

Ingatan saya kembali ke hari di mana saya dan Nana masuk ke kamar Ayi. Lebih tepatnya menyelediki kamar Ayi. Awalnya kami masuk ke kamar Ayi dengan menggunakan kunci cadangan penjaga kosan karena Nana ingin mengambil charger selulernya, tapi karena kami merasa ada yang janggal, kami menyelidiki seluruh kamarnya. Saat itu saya menemukan struk belanja pembelian test-pack, yang membuat saya berpikir jangan-jangan Ayi hamil. Tapi saya tidak menceritakan pada Nana karena dugaan itu terlalu kasar dan tidak berdasar kuat. Saat ini pun juga tidak akan saya ceritakan.  Tidak mau menambah bumbu.

"Lo tahu dari mana Na?"

"Wawan"

Ah... Kini saya mulai bisa mengerti benang merahnya. Wawan itu adalah mantan kekasih Ayi.

"Kapan dia ngasih tahu lo?"

" Sudah agak lama. Beberapa hari sebelum kita masuk ke kamar Ayi."

"Hmmm. Jadi sebenernya lo itu tempo hari sebenarnya ngebet nyari Ayi gara-gara perkara ini ya? Bukan perkara chargernya kan?"

"Iya sih sebenarnya."

Cerita ini menjelaskan banyak hal. Saya ingat betul ketika itu Nana sangat emosionil dan cenderung berkata kasar tentang kelakukan Ayi, padahal Ayi seharusnya adalah sahabatnya sendiri.

"Gw tuh gemes banget Na. Gemes banget nget nget. Wawan itu waktu itu tiba-tiba ngajak gw chating di y!m, cerita soal itu. Paniklah gw. Eh begitu gw masuk kamar, kok lo bilang si Ayi udah ga pacaran lagi sama Wawan, pacarannya sama Aji. Gemesnya itu karena gw ga tahu kalo Ayi sama Wawan udah putus, dan yang paling penting adalah Aji itu kan mantan gw waktu SMA."

Deg. Sekali lagi kejutan hari ini. Bagaimana bisa Nana bisa tidak tahu bahwa Ayi sudah putus dengan Wawan dan sudah punya pacar baru. Dan bagian ini memang terlalu sinetron. Bagaimana bisa Ayi pacaran dengan mantannya Nana. Atau jangan-jangan karena Ayi tahu Aji itu bekas pacarnya Nana, Ayi menyembunyikan hal ini dari Nana?

"Ayi tau ga Aji mantan lo?"

"Ya mana gw tahu. Ayi pacaran sama Aji aja gw ga tahu."

Hening. Nana ini, padahal sudah punya pacar kok sepertinya tidak rela mantannya menjalin hubungan dengan sahabatnya.

Saya sendiri bingung. Bingung mendefinisikan permasalahannya. Dan bingung mengapa perasaan saya ikut campur aduk. Antara sedih, kaget, tapi juga senang. Semacam senang karena Ayi yang selama ini jadi idola saya ternyata tidak sesempurna itu. Hamil, pacaran sama mantan sahabatnya sendiri. Rasanya menenangkan tahu bahwa orang yang kita pikir sempurna ternyata tidak sempurna.

"Nana, kalau bener Ayi hamil, Aji harus tanggung jawab dong."

"Itu dia Sela. Gw ga yakin kalau Aji bisa setolol itu. Gw tahulah Aji gimana kelakuannya.

"Ya, soal begituan kan kita ga tau Na. Menurut lo emang siapa? Wawan?"

"Wawan itu kayak babi. Kalau ngeliat tingkah polahnya gw si yakin sebenernya bapaknya itu Wawan. "

"Jelasin ke gw. Gw  ga ngerti, Na."

"Iya, jadi sebulanan yang lalu dia itu tiba-tiba muncul lah, sms gw bilangnya mau curhat. Tapi dia itu ga bilang sama gw kalo dia itu usah putus sama Ayi. Gw kan juga ga tahu ya, jadi gw pikir ya dia curhat hubungan dia sama Ayi. Dia bilang jangan sampai Ayi tahu kalo dia itu curhat sama gw.  Dia itu bilangnya gini loh. 'Na, gw khawatir deh sama Ayi, lo bisa tolong perhatiin dia ga. Kayaknya dia sakit, muntah-muntah.' Gitu-gitulah ngomongnya Sel."

"Terus?"

"Terus kan gw bilang kalo si Ayi baik-baik aja. Tapi si Wawan ini pinter bangetlah ngomongnya, pokoknya gimana sedemikian rupa sehingga itu kayak nuntun gw untuk ngambil kesimpulan kalau Ayi itu hamil."

"Terus lo tanya ga ke dia?"

"Pas gw sampai ke kesimpulan kalo Ayi kayaknya hamil, gw kan coba konfirmasi balik dong ke Wawan. Eh, dia ga bisa dihubungin gitu. Gw jadi agak emosi jiwa. Emosi mikirin Ayi, emosi mikirin Wawan, makanya gw pingin ngomong sama si Ayi. Eh si Ayinya juga ga bisa dihubungin. Siapa yang ga kesel."

Semakin jelas sekarang. Dan tiba-tiba ada banyak nama bermunculan di otak saya saling terkait satu sama lain. Saya mengerti sekarang kenapa setelah Nana tahu bahwa Ayi sudah tidak pacaran dengan Wawan lagi ditambah dengan fakta Ayi pacaran dengan Aji, Nana menjadi emosional dan marah besar kepada Wawan.

"Wawan uda tahu kalo Ayi hilang?"

"Hmmm gw belum bilang sih."

"Aji?"

"Dia ke sini tadi siang, Sela. Nyariin Ayi. Ketemu sama gw pas jalan ke sini.”

"Terus?"

"Gw ceritain kalo gw ga ngeliat Ayi hampir dua minggu dan bener-bener ga tahu dia di mana. Tapi si Aji kayak ga ngambil pusing gitu."

"Maksudnya?"

"Dia bilang ke gw, sebenernya alasan dia pacaran sama Ayi biar bisa terhubung sama gw lagi. Dia bilang dia masih sayang sama gw."

Entah kata apa yang bisa mewakili perasaan saya saat itu. Nana ini seperti punya magnet untuk setiap pria. Saya iri. Bagaimana ya rasanya disayang oleh seseorang tanpa berkesudahan macam itu. Walaupun ini tidak masuk akal. Pacaran dengan orang lain untuk bisa dekat dengan orang yang disayang.

"Terus gimana, Na? Jadi Aji ke sini buat nyari Ayi apa ketemu lo?"

"Gw ga tahu deh Sela, yang gw tahu gw ciuman aja sama dia tadi."

Jeng jeng jeng jeng. Kejutan ketiga. Nana mencium pacar Ayi. Pecun.

"Buat gw impas sih Sela. Beberapa minggu yang lalu gw ngeliat  Ayi pegang-pegangan tangan sama Bimo di warung Babeh.  Impas lah. Dia megang tangan cowok gw. Gw ciuman sama cowoknya. Impas kan?”

Kejutan keempat datang. Ayi pegangan tangan dengan pacar Nana. Pecun.

Kini dengan resmi saya berbahagia sekaligus prihatin. Bahagia karena dua orang yang selalu saya kagumi karena kecantikan dan kepintarannya ternyata tidak beres urusan pacar-memacari. Levelnya level murahan. Saya merasa dua tiga kali lebih baik dari mereka berdua.

Tapi di saat yang bersamaan, saya juga prihatin. Tiba-tiba, hal yang benar dan salah menjadi abu-abu sekali. Memegang dan mencium, interaksi antara dua orang manusia, bila dilakukan dengan suka satu sama lain, harusnya baik-baik saja. Kalaupun salah satu adalah pacar orang lain, toh pacaran belum ada ikatan hukumnya. Kalau dipikir-pikir ya bukan masalah juga sih. Entahlah.

Nana menyadari saya bengong cukup lama.

"Sela, lo mikir apaan?"

"Kagetlah. Ini lebih sinetron dari sinetron kali Na."

Kami berdua sama-sama terdiam. Saya terdiam karena tidak tahu harus berbuat apa. Nana terdiam mungkin karena menyadari betapa situasi ini sungguh tidak nyaman.

"Na, Kalau memang benar Ayi hamil, bapaknya siapa? Menurut gw, kalau kita tahu siapa bapaknya, dia musti tahu di mana Ayi. Maksud gw, bagaimanapun juga kan Ayi teman kita, dia hamil begini menurut gw malah btuh dukungan dan support. Kita musti harus cari dia.:

"Atau, Sela, justru malah jangan-jangan si Ayi ga ngasih tahu ke siapa-siapa. Lo tahu kan Ayi itu munafik. Ngerokok sama minum aja sembunyi-sembunyi. Dia kan ga mau image anak baiknya hilang. Atau.. Atau jangan-jangan dia malah ga tahu siapa bapaknya..."

Hening. Keheningan yang sama sekali tidak nyaman. Saya berusaha merumuskan permasalahannya. Ayi hamil. Ayi menghilang. Kami, sebagai teman satu kosannya, yang tahu benar bahwa dia benar-benar menghilang, meninggalkan dompet dan ponsel di kamar kosan, merasa khawatir dan berharap bisa menemukan Ayi walaupun bila akhirnya bisa bertemu, kami juga tidak tahu harus berbuat apa.

Tapi terlepas dari itu, kalau memang benar Ayi hamil. Siapa bapaknya?

"Tadinya gw curiga kalau yang ngehamilin ya Wawan. Soalnya dia yang mancing-mancing gw. Tapi pas gw telfon dan gw marah-marah itu dia bilang bukan. Dia emang ngaku mata-matain Ayi, tapi bukan dia. "

"Tapi buat apa Na? Ga masuk akal ah. Ngapain capek-capek mata-matain dan bisa-bisanya curiga Ayi hamil, kalau bukan dia yang ngehamilin?"

"Iya sih. Tapi sebenarnya lebih masuk akal buat curiga sama Aji. Aji kan pacar Ayi yang sekarang. Tapi dari bahasa tubuh dia tadi siang, gw ga yakin dia ngehamilin Ayi, kalau dia masih sayang sama gw."

"Na, dia bisa-bisanya berani nyium lo yang jelas-jelas udah pacaran ama Bimo. Kenapa dia ga bisa ngehamilin Ayi? Ya gw juga ga tahu apa hubungannya sih antara dia nyium lo sama ngehamilin Ayi, tapi kenapa engga?"

Nana diam. Argumen yang diucapkannya salah. Cuma menunjukan kalau Aji itu, bagi saya, adalah semacam buaya darat ga penting.

"Terakhir ya Bimo."

"Lo curiga sama cowok lo sendiri cuma gara-gara ngeliat dia sama Ayi pegangan tangan? Eng, bukannya kenapa-kenapa ya Na. Lo tadi ciuman sama Aji loh."

"Terus kenapa kalo gw ciuman sama Aji? Lo sirik?" Tiba-tiba nada suara Nana meninggi. Saya kaget dan agak emosi. Tapi saya tahan.

Kami berdua kembali hening. Saya berpikir lagi dan kemudian menyadari bahwa saya tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. Benang merahnya cuma satu. Saya adalah teman kosan Ayi dan Nana. Benang merah yang terlalu tipis. Lain dari itu hanyalah masalah cinta segi entah berapa yang entah kenapa ikut menjejal di kepala saya.

"Na. Kita juga belum tahu benar atau tidak Ayi hamil. Dari tadi kita cuma berasumsi bahwa Ayi hamil. Bagi gw pribadi, kalaupun memang Ayi hamil, ya kita support dia. Cuma sekarang kan anaknya ga ada. Mungkin dia memang sedang ingin menghilang. Buat gw sih ga ada masalah ya. Apalagi setelah tahu masalah ini. Tapi buat lo, gw pahamlah. Terlalu banyak masalah pribadi antara lo dan Ayi. Mending sekarang tidur dulu lah. Besok kita pikirin lagi soal ini."

Saya beranjak membuka pintu, kembali ke kamar.

Nana tidak menanggapi perkataan saya. Dia ikut berdiri. Ketika akan menutup pintu dia berkata pelan.   "Kalau itu anaknya Bimo, gw mungkin akan suruh Ayi makan nanas banyak banyak biar bayinya gugur. Sahabat gw hamil dari pacar gw sendiri. Itu terlalu berat buat gw."

Saya diam. Tidak ingin menanggapi.  Masalah ini terlalu rumit. Saya kembali ke kamar dengan perasaan tidak jelas. Cinta, hasrat seksual, persahabatan, semuanya tiba-tiba terasa begitu rumit. Bagian terburuknya adalah, kerumitan yang ada itu kesemuanya bukanlah masalah saya sama sekali.

Waktu sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Saya tidak bisa tidur. Akhirnya saya mnyalakan komputer dan berselancar di situs jejaring sosial. Membunuh waktu. Tiba-tiba seseorang mengirimkan permintaan untuk menjadi teman. Namanya tidak familiar. Permintaan teman ini dilengkapi pesan singat. "Sela, ini Wawan. Semoga lo masih inget gw. Gw butuh ngobrol sama lo. Please, acccept friend request gw."

Saya ingat cerita Nana. Apakah setelah gagal mendekati Nana, Wawan gentian mendekati saya untuk mencari tahu soal Ayi?

Saya tahu lebih baik tidak terlibat masalah pelik ini. Tapi tak bisa dipungkiri, saya penasaran. Sungguh penasaran. Saya kembali berpikir. Saya mulai bisa melihat benamg merah terjalin dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Dari orang yang satu ke orang yang lain. Jalinan yang rumit dan semrawut. Saya menyukainya. Baiklah. Saya memilih kotak "Accept".

[bersambung]

*Cerita ini adalah bagian dari serial Jek. Cerita-cerita pendek yang tidak perlu dibaca berurutan tapi saling terkait. Silakan lihat di sini :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun