Mohon tunggu...
Gitskai
Gitskai Mohon Tunggu... -

suka cerita apa saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Cerita Jek

26 Juli 2010   16:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:35 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ayi, abang ga ngerti cinta."

Ayi terdiam. Jek merokok. Di kepala Jek kembali menerawang bayangan Noni. Apakah dia cinta Noni? Apakah dia cinta Ayi?  Yang Jek tahu, Ayi adalah kesempatan mengisi hatinya yang kosong. Melunasi hutang berbuat jahat. Hanya itu.  Apakah itu cinta? Jek mengusap perut Ayi, lalu mengecupnya dan kemudian menyuruh Ayi tidur.

Jek tahu Ayi tidak segera pergi tidur. Jek bisa mendengar Ayi menangis pelan. Tadi siang Jek memberikan Ayi sekantong plastik pakaian bayi bekas pakai. Mungkin itu mengapa Ayi bilang cinta. Tidakkah dia cinta ayah dari bayinya? Atau mungkin Ayi seperti Noni. Noni yang tidak cinta Jek, ayah dari bayi yang dikandungnya? Ayi masih menangis ketika Jek jatuh tertidur.

***

Jek tahu biaya persalinan tidak murah. Jek juga tahu tidak selamanya Ayi bisa tinggal bersamanya. Jek tidak mau memperistri Ayi. Jek cuma ingin Ayi selamat melahirkan. Itulah mengapa setiap bulan Jek selalu memberi Ayi uang dan berpesan supaya ditabung. Dan Jek sendiri juga menabung. Untuk biaya persalinan Ayi.

Maka wajar bila kemudian ada emosi membara berlipat-lipat di sebuah sore. Sebuah sore ketika Jek menangkap basah si copet sialan ynag hampir mengambnil seluruh tabungannya. Setumpuk lembaran biru usang di dalam tas kain selempang yang dia pakai. Pukulan saja tidak cukup. Tendangan juga. Terus. Terus. J ek masih merasakan emosi yang meledak-ledak. Adrenalin yang terpacu. Baru setelah darah di mana-mana logikanya kemabli. Tubuh kurus dihadapannya tidak bernyawa lagi, Jek kalut.

Lari.
Lari.
Lari.

Cuma itu yang ada di kepalanya. Bayangan ibunya samar muncul. Lalu bapaknya. Lalu Mak.

Jek naik bus sembarang. Jek turun di tempat sembarang.
Lari.
Lari.

Jek sampai di tempat entah, Jek berlari lagi ke arah entah.
Lari
Lari

Hari sudah berganti  berkali kali. Jek sempoyongan di jalan tanpa penerangan. Jek merasa melihat Noni di ujung rel lima ratus  meter di hadapannya.  Jek berlari melintasi rel kereta api. Lalu Jek melihat Noni lagi, di ujung rel empat ratus meter di hadapannya. Suara mendesing-desing. Lalu benturan keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun