Iya, sama persis rasanya seperti ketika Noni hamil. Jek duduk menyalakan rokok dan menghisapnya pelan. Tangis Ayi pecah. Jek menjadi bingung dan sangat tidak suka situasi aneh ini. Ia kemudian berusaha bersikap baik dengan menyeka air mata di pipi Ayi. Ayi lalu memeluknya erat-erat.
Ayi tidur di pelukan Jek malam ini. Tapi Jek tidak bisa tidur. Sambil sekali-kali membetulkan posisi tangannya supaya tidak kebas, pikirannya meloncat-loncat lagi ke masa lalu. Bayangan Noni sekali dua kalo berkelabat dalam benak Jek. Kalu Noni tidak mati ditabrak kereta, Jek sekarng sudah punya anak. Mungkin bukan kebetulan kemarin malam dia bertemu dengan Ayi. Mungkin bukan kebetulan juga kalau Ayi sekarang sedang hamil. Mungkin ini kesempatan kedua untuk Jek.
Orang bilang Jek preman, tapi itu kan cuma satu dari sedikit cara mengumpulkan uang. Jek tidak pernah kekurangan. Ya, dia preman yang juga kadang jadi kenek kopaja atau kadang menyupir. Dia selalu punya uang kalau ingin minum atau merokok. Ada uang untuk bisa menyicil satu kopaja dari koperasi, tapi untuk apa? Pertanyaan itu sepertinya sudah didapat jawabannya. Mungkin benar. Untuk ini semuanya. Uang, kekuasaan, mungkin untuk ini. Keluarga.
Mungkin Jek perlu orang lain untuk dihidupi. Seperti bang Rahmat, atau bang Jali. Mereka bekerja untuk keluarga. Kejar setoran untuk lebaran. Pernah Jek bertanya untuk apa punya anak kalau sudah tahu uang tidak banyak, bang Rahmat tertawa. Dia lalu menjawab sesatu panjang lebar tentang rasa bahagia sambil menunjuk dada kiri. Jek tidak mengerti. Berkelahi memukuli lawan dalam tawuran memberikan dia rasa bahagia yang lebih dari cukup kalau memang bahagia yang dicari.
Dulu waktu Jek menikahi Noni, tidak ada motivasi untuk bahagia. Ya menikah saja, seperti orang lain lakukan. Tak pernah Jek benar-benar pikirkan apa itu arti pernikahan. Kehamilan Noni pun tidak pernah menyita perhatian Jek. Jek berpikir memang itu hal yang lumrah. Tapi ternyata dia salah. Setelah Noni mati ada celah di dalam dirinya. Bukan sedih, bukan marah. Sedikit sesal. Tapi Jek terlalu gengsi mengakuinya.
Jek memandang Ayi dan mengelus perutnya. Seperti apa yang Mak pernah bilang, tidak ada yang kebetulan. Wanita ini mungkin adalah kesempatan kedua untuk Jek. Meminta maaf pada Noni untuk kesalahannya mungkin bisa lewat Wanita ini. Ya, mungkin wanita ini seharusnya bukan untuk ditiduri. Jek mengecup kening Ayi lalu tidur. Itu pertama dan terakhir Jek menyentuh Ayi.
****
Semua orang sudah tahu Jek dan Ayi tinggal serumah. Semua orang juga tahu Ayi sedang bunting mungkin sekitar lima bulan. Banyak yang penasaran dengan takut-takut bertanya pada Mak apa benar Ayi bunting anaknya Jek. Mak biasanya hanya memberi tatapan tajam dan malas menjawab. Bisik bisik yang terdengar, Mak tidak suka dengan Ayi karena Mak yakin Ayi lonte kota lain yang kesasar di terminal ini dan memanfaatkan Jek untuk bisa tetap makan minum. Mak yakin Ayi bunting bukan karena Jek.
Tapi sejak ada Ayi, Jek semakin mendapatkan kepercayan dirinya. Jek bekerja semakin keras dan semakin galak. Jek semakain ditakuti orang dan lebih berani melawan kalau ada kamtib datang untuk minta setoran. Secara aklamasi Jek dianggap kepala preman terminal ini. Masih menurut bisik-bisik, Jek sudah memesankan kepada semua anak buahnya untuk tidak mengganggu Ayi dan menghormati dia serta menjaga dia bila Jek tidak ada di terminal.
Bisik-bisik yang ini konon katanya sempat membuat Mak gusar. Tapi Mak hanya berani berkeluh kesah di belakang saja. Mak kesal karena Ayi, walaupun sangat dia benci, tapi melayani dan membantu Mak dengan baik. Terlebih waktu penyakit Mak kumat, Ayi yang tetap membuka lapak Mak dan membantu berjualan.
Suatu malam di kamar kontrakan Ayi tiba-tiba memeluk Jek erat dan mengatakan bahwa ia mencintai Jek. Jek hanya menerawang. Cinta? Bagaimana mungkin tiba-tiba wanita ini bilang cinta?