Karena pertanyaannya bukan sesuatu yang penting. Mungkin ia hanya ingin menjalin sebuah pembuka untuk masuk lebih jauh. Dan kau mendapati dirimu menarik nafas, mengembuskannya. Seperti tak ingin meneruskan bincang pendek yang seolah memerangkapmu.
"Aku baik-baik saja. Anak-anak?"
"Sudah tidur, kecapean. Abis diajak kakeknya mancing. Girang banget mereka!"
Kau tersenyum tipis. Membayangkan keceriaan Rian dan Mei yang tak pernah bisa diam. "Tidurlah! Kamu perlu istirahat."
"'Ndra..." ia kembali memanggilmu.
"Aku kangen kita dulu."
Kau mendengar lirih suaranya. Lalu memutar ulang kepingan kejadian saat bidukmu belum diguncang apapun dan laut begitu tenang.
Kau dan dia, sama-sama menunggu. Siapa yang akan memutuskan hubungan percakapan telepon ini lebih dulu. Waktu terus merangkak naik.
***
Windy.
“Rumahmu teduh sekali.” dia memuji pokok-pokok perdu yang ditanam rapih di sekeliling teras. Ada melati, beberapa kana yang sedang mekar juga helai-helai suplir yang berayun halus. Matanya seperti tak puas melahap suasana asri di teras rumahmu. Kau mengikuti arah pandangnya. Menelusuri semua hasil tangan dingin Sekar yang hobi berkebun.