Entah kenapa kali ini kau ingin dia ada di sini. Bukan di café atau kedai kopi atau resto mana pun. Di sini saja. Sementara kau juga tahu semua yang ada di kediamanmu akan mengingatkanmu pada Sekar. Tak ada ruang yang bebas dari dirinya di rumah ini. Kecuali mungkin ruang lain yang tak terlihat dan tak bisa dijangkau Sekar. Itu hanya kau yang tahu, di mana letaknya.
“Aku akan membuatkanmu, teh.” ia bangkit dari duduknya di sampingmu, lalu berjalan bertelanjang kaki ke dapur begitu saja.
Kau mengikutinya.
Melangkah ke dapur. Ia mengambil cangkir, bukan mug. Menjerang air, menaruh beberapa jumput daun teh dalam pembungkus kertas teh celup.
“Manis?” ia bertanya tanpa menoleh, seperti tahu kau ada di sana. Mengawasinya dari belakang. Siap memasukkan bungkahan kecil gula batu.
Ia mengaduk perlahan.
Tidak menoleh padamu namun merasakan rengkuhan lenganmu yang kuat membungkus tubuhnya.
Tak ada yang bicara.
“Narendra…” suaranya tercekat. Memanggilmu amat lirih. Kau membawa wajahnya ke dadamu. Mungkin kau tak ingin dia bicara apa-apa. Dadamu sesak. Bergemuruh. Windy. Kau teriakkan namanya berkali-kali dalam gejolak rasa yang tak mampu kau padamkan.
Wajah tirusnya kini dalam genggamanmu.
Tak ada jengah yang menengahi. Ketika itu kau hanya ingin satu. Waktu berhenti agar semuanya mengalir bersamamu.