Mohon tunggu...
Laura Paais
Laura Paais Mohon Tunggu... -

Penulis. Lahir di Surabaya dan bekerja paruh waktu di perusahaan periklanan. Fotografi dan jalan-jalan adalah kesukaannya selain menulis cerpen, puisi dan catatan perjalanan. Blog: laurapaais.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Narendra

8 Oktober 2016   20:54 Diperbarui: 8 Oktober 2016   21:23 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ada sebuah kelegaan yang perlahan memadati dadamu. Kediamanmu terasa lengang tanpa celoteh anak-anak yang berlarian berebut ini itu, sesekali berteriak girang. Dan Sekar. Ia pun tak ada. Sebuah letupan kecil yang entah apa namanya kembali menyala. Ketika kau ingat janji tentang kedatangannya kali ini. Letupan-letupan kecil itu membuncah, pelan-pelan membuatmu tersenyum.

Windy.

Seperti apa dia kini? Masih suka melamun dan diam-diam memandangmu lalu di kali lain tertunduk atau mengarahkan matanya berkelana di kejauhan. Ke tempat yang belum bisa kau jejaki. Kau pun tak dapat memungkiri kenyataan yang kaurasakan setiap kali ia ada bersamamu. Seperti yang terjadi sebelumnya dan sebelumnya. Selalu ada yang manis. Kau sesap rasanya begitu saja seperti kanak-kanak mengisap manisnya kembang gula. Ah.

Ponselmu kembali bergetar. Nama yang tertera di sana membawamu kembali ke bumi.

Sekar.

"Hai..."

"Hai..." sahutmu berat. Melirik arlojimu. Pukul dua pagi.

"Belum tidur?" mustinya kau yang ingin bertanya hal itu tapi Sekar mendahuluimu.

"Belum ngantuk. Masih pengen baca dulu. Kamu?" kau mengusap kulit buku Seveneves, jemarimu bergerak membuka-buka lembarannya dengan satu tangan.

"Aku nggak bisa tidur. Kepikiran kamu terus. Tadi makan apa?" kau mendengar nada suara Sekar di ujung sana.

Hmm. Kau bahkan sudah tak ingat tadi makan apa.

Karena pertanyaannya bukan sesuatu yang penting. Mungkin ia hanya ingin menjalin sebuah pembuka untuk masuk lebih jauh. Dan kau mendapati dirimu menarik nafas, mengembuskannya. Seperti tak ingin meneruskan bincang pendek yang seolah memerangkapmu.

"Aku baik-baik saja. Anak-anak?"

"Sudah tidur, kecapean. Abis diajak kakeknya mancing. Girang banget mereka!"

Kau tersenyum tipis. Membayangkan keceriaan Rian dan Mei yang tak pernah bisa diam. "Tidurlah! Kamu perlu istirahat."

"'Ndra..." ia kembali memanggilmu.

"Aku kangen kita dulu."

Kau mendengar lirih suaranya. Lalu memutar ulang kepingan kejadian saat bidukmu belum diguncang apapun dan laut begitu tenang.

Kau dan dia, sama-sama menunggu. Siapa yang akan memutuskan hubungan percakapan telepon ini lebih dulu. Waktu terus merangkak naik.

***

Windy.

“Rumahmu teduh sekali.” dia memuji pokok-pokok perdu yang ditanam rapih di sekeliling teras. Ada melati, beberapa kana yang sedang mekar juga helai-helai suplir yang berayun halus. Matanya seperti tak puas melahap suasana asri di teras rumahmu. Kau mengikuti arah pandangnya. Menelusuri semua hasil tangan dingin Sekar yang hobi berkebun.

Entah kenapa kali ini kau ingin dia ada di sini. Bukan di café atau kedai kopi atau resto mana pun. Di sini saja. Sementara kau juga tahu semua yang ada di kediamanmu akan mengingatkanmu pada Sekar. Tak ada ruang yang bebas dari dirinya di rumah ini. Kecuali mungkin ruang lain yang tak terlihat dan tak bisa dijangkau Sekar. Itu hanya kau yang tahu, di mana letaknya.

“Aku akan membuatkanmu, teh.” ia bangkit dari duduknya di sampingmu, lalu berjalan bertelanjang kaki ke dapur begitu saja.

Kau mengikutinya.

Melangkah ke dapur. Ia mengambil cangkir, bukan mug. Menjerang air, menaruh beberapa jumput daun teh dalam pembungkus kertas teh celup.

“Manis?” ia bertanya tanpa menoleh, seperti tahu kau ada di sana. Mengawasinya dari belakang. Siap memasukkan bungkahan kecil gula batu.

Ia mengaduk perlahan.

Tidak menoleh padamu namun merasakan rengkuhan lenganmu yang kuat membungkus tubuhnya.

Tak ada yang bicara.

Narendra…” suaranya tercekat. Memanggilmu amat lirih. Kau membawa wajahnya ke dadamu. Mungkin kau tak ingin dia bicara apa-apa. Dadamu sesak. Bergemuruh. Windy. Kau teriakkan namanya berkali-kali dalam gejolak rasa yang tak mampu kau padamkan.

Wajah tirusnya kini dalam genggamanmu.

Tak ada jengah yang menengahi. Ketika itu kau hanya ingin satu. Waktu berhenti agar semuanya mengalir bersamamu.

***

"Tehmu sudah dingin." dia tersenyum, menatap cangkir yang masih penuh.

"Mau kubuatkan lagi?"

"Kamu sudah selesai bacanya?" matanya menatap Seveneves yang separuh terbuka.

Kau menggeleng.

Tidak ingin teh, apalagi Seveneves.

Saat ini hanya adanya yang membuatmu merasa cukup.

Kau ingin mendiamkan semua suara. Termasuk panggilan yang baru saja masuk dari Sekar.

Aku dan anak-anak akan pulang malam ini, begitu tulisnya.

Kau mematikan ponsel dan kembali merengkuhnya. Waktumu tak banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun