Patut dipertanyakan, kapabilitas dan kompetensi Dewan Direksi itu yang berasal dari para profesional bank menahkodai BUMN asuransi. Dimana, Direksi perseroan itu seharusnya mampu memberikan solusi nyata terhadap masalah mendasar BUMN asuransi. Program kerja yang konkrit dan penanganan masalahnya yang cepat tanggap, tepat sasaran, efisiensi waktunya dan tidak berlarut-larut itu dibutuhkan, bukan justru dibiarkan. Seperti sekarang ini terjadi, ada Direksi yang menciptakan masalah gagal bayar asuransi, tanpa didukung dengan data, asal bunyi saja diruang publik, lalu kabur ke tempat lain. Pada, akhirnya ada yang dikorbankan dibiarkan masalah itu menjadi bola liar diruang publik dan tanpa diberikan solusi yang berarti, justru menciptakan kegaduhan-kegaduhan baru yang tidak berujung pada penyelesaian, hingga sekarang ini terjadi "Kehancuran Industri Perasuransian Nasional" khususnya menimpa pada BUMN asuransi yang menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian Nasional.
Penambahan Modal BUMN Asuransi, Dari PSP Sangat Dibutuhkan Pada Saat Terjadi Tekanan Likuiditasnya, Lalu Kemana Kucuran PMN Rp 20 Triliun ?
PMN atau Penyertaan Modal Negara untuk mengatasi masalah seretnya likuiditas BUMN asuransi dan menutup potensi kerugian perseroan asuransi akibat pengelolaan dana investasi asuransi yang di tempatkan di pasar modal. Merosotnya pasar saham, merosotnya resakdana, pasar keuangan dunia mengalami depresiasi yang sangat masif dampak buruk dari akibat resesi ekonomi dunia. Seharusnya Pemerintah Republik Indonesia, terbuka saja terhadap penyelesaiannya dan bertanggung jawab penuh terhadap BUMN asuransi. Karena, persoalan hukumnya sudah berjalan sesuai perintah, tinggal diuji saja kebenarannya. Dan seharusnya Pemerintah lebih melindungi kepentingan pemegang Polis BUMN, Pegawai, Para Pensiunan Pegawai, Mitra Kerja BUMN dan kelangsungan lokomotif bisnis dari asuransinya, bukan Kepentingan lain. Salah satu, solusi konkritnya adalah adanya penambahan modal atau suntikan modal kerja bagi BUMN asuransi oleh Pemegang Saham Pengendali (PSP). Dalam hal ini adalah Negara sebagai 100 persen pemiliknya Pemerintah Republik Indonesia. Akan, menjadi salah satu solusi yang masuk akal jika dilakukan dengan prinsip GCG (Good Corporate Governoun), dalam mengatasi seretnya likuiditas BUMN asuransi jiwa tertua. Hal ini, juga diatur didalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, Pasal (15) berbunyi: Pengendali wajib ikut bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang disebabkan oleh Pihak dalam pengendaliannya.
Pemberian suntikan modal kerja dalam bentuk PMN atau bentuk lain seperti Pinjaman Subordinasi oleh PSP, sangat dimungkinkan menjadi solusi bagi BUMN asuransi. Hal ini, juga di perbolehkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Perasuransian & Perusahaan Reasuransi, Pasal 51, ayat (3) berbunyi; "Langkah penyehatan keuangan        sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat rencana tindak sebagai berikut: (a). Restrukturisasi Aset dan/atau Restrukturisasi Liabilitas; (b).Penambahan modal disetor; (c).Pemberian pinjaman subordinasi; (d).Peningkatan tarif premi; (e).Pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan; (f).Penggabungan badan usaha; dan/atau;(g).tindakan lain."
Jika, pemberian PMN tidak dimungkinkan, maka bisa dengan pinjaman subordinasi oleh Pemerintah, jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan akses permodalan dengan alasan belum ada aturan Undang-Undang (UU) yang mengaturnya, atau belum ada Peraturan Pemerintah (PP) terkait dana bailout PMN ke sektor industri perasuransian. Apa lagi BUMN asuransi itu 100 persen dimiliki oleh Negara, tinggal niat baiknya saja untuk membuat payung hukum tersebut. Dana PMN atau Pinjaman Subordinasi itu, diperlukan oleh perseroan ketika sedang menghadapi tekanan likuiditasnya. Di samping itu juga sekaligus untuk memperkuat kembali pada struktur permodalan, dan menyelesaikan kewajiban utang klaim yang sudah jatuh tempo, agar segera diselesaikan.Â
Hal ini, dimaksudkan agar BUMN asuransi bisa segera melanjutkan operasional bisnisnya dan sekaligus mengembalikan kepercayaan berasuransi kembali yang sudah terlanjur dirusak diruang publik oleh Direksinya dan agar penyelesaiannya dalam waktu yang tidak lama. Di harapkan, jika cepat penanganannya tersebut, untuk menghindari dampak buruk sistemik kepercayaan berasuransi dimasyarakat yang bisa luntur, dan merembet pada perusahaan asuransi lain.Â
Lebih lanjut, dapat tercipta pertumbuhan bisnis baru, dari nasabah polis eksisting yang ada atau dari sumber referensi yang lain. Akan tetapi, Â pelayanan klaim itu sepertinya sengaja disumpal oleh Direksi, sehingga tidak lagi berfungsi secara normal dan pro aktif memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh Nasabah Polis. Kini kepercayaan itu telah hilang, selama dinahkodai dari para profesional bank, justru yang terjadi sebuah "kehancuran" yang sangat masif, telah dipertontonkan diruang publik.
Janggal ! Kondisi Aset BUMN Asuransi Mengalami Penurunan Drastis, 2 Tahun Laporan Keuangan Tidak Dipublikasikan ?
Secara normalnya, perusahaan yang beroperasi dalam menjalankan usahanya,tentu akan dilihat seberapa besar tingkat kekayaan aset, modal kerja, perputaran pertumbuhan bisnisnya akan tercermin dari laporan keuangan perusahaan. Sebagai informasi, laporan keuangan BUMN asuransi posisi aset tidak wajar dalam setiap tahun mengalami penurunan yang sangat drastis secara signifikan. Hal ini, diketahui pasca masuknya para Direksi baru tahun 2018 yang diketahui, Â dari luar BUMN asuransi dan rombongan dari profesional bank. Dimana, dikutip dari halaman website resmi perseroan www.jiwasraya.co.id, dengan posisi aset Laporan Keuangan tahun 2016 membukukan posisinya Sebesar Rp 38 triliun. Kemudian, posisi Aset tahun 2019 mengalami penuruan sebesar 66,5% turun menjadi sebesar Rp 25,3 triliun, kemudian posisi aset tahun 2020 juga mengalami penurunan drastis sebesar 71,5% Â atau, menjadi Sebesar Rp 18,1 triliun, dan posisi aset tahun 2021 juga mengalami penurunan sangat drastis sebesar 83,42% Â atau, menjadi sebesar Rp 15,1 triliun, dan pada tahun 2022 aset perseroan turun sebesar 91,3% atau, menjadi aset sebesar Rp 13,8 triliun.
Penurunan tingkat nilai aset perseroan asuransi itu, diketahui bahwa BUMN asuransi telah menghentikan operasional oleh Direksi perusahaan sejak tahun 2020 silam yang diikuti dengan adanya pembatalan seluruh portofolio polis aktif BUMN. Sementara kebutuhan biaya operasional perusahaan tetap jalan terus, tanpa ada income Premi asuransi yang masuk ke BUMN. Dimana, telah dijalankan seperti perusahaan yang beroperasi secara normal pada umumnya, ada over cost perusahaan yang membengkak. Sehingga, posisi aset milik Negara  itu, tidak menggambarkan posisi Aset yang wajar. Lalu dimana fungsi pengawasan (controller), dan peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama ini, yang memposisikan sebagai wakil dari  Pemerintah sebagai regulator.
Menurunya kondisi aset Negara, yang tidak tubuh pada BUMN sektor asuransi sangat mengkawatirkan, dan dinilai ada rekayasa. Jika penurunan aset-aset perseroan tersebut, menyebabkan tidak mampu menyelesaikan tunggakan seluruh pembayaran klaim asuransinya bagi nasabah polis BUMN. Lalu, siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah seorang Mentri BUMN yang menempatkan, dan memilih Direksi BUMN asuransi, kemudian diuji tuntas oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan sebagai Direksi BUMN. Sekarang sudah terjadi Kehancuran itu, menimpa pada BUMN asuransi yang sebelumnya, telah dilakukan lolos Uji Kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang sebelum telah lolos menjadi Direksi BUMN asuransi. OJK juga harus dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawabannya secara hukum atas hasil Fit and Proper Test para Direksi BUMN tersebut.Â