Patut dipertanyakan, kapabilitas dan kompetensi Dewan Direksi itu yang berasal dari para profesional bank menahkodai BUMN asuransi. Dimana, Direksi perseroan itu seharusnya mampu memberikan solusi nyata terhadap masalah mendasar BUMN asuransi. Program kerja yang konkrit dan penanganan masalahnya yang cepat tanggap, tepat sasaran, efisiensi waktunya dan tidak berlarut-larut itu dibutuhkan, bukan justru dibiarkan. Seperti sekarang ini terjadi, ada Direksi yang menciptakan masalah gagal bayar asuransi, tanpa didukung dengan data, asal bunyi saja diruang publik, lalu kabur ke tempat lain. Pada, akhirnya ada yang dikorbankan dibiarkan masalah itu menjadi bola liar diruang publik dan tanpa diberikan solusi yang berarti, justru menciptakan kegaduhan-kegaduhan baru yang tidak berujung pada penyelesaian, hingga sekarang ini terjadi "Kehancuran Industri Perasuransian Nasional" khususnya menimpa pada BUMN asuransi yang menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian Nasional.
Penambahan Modal BUMN Asuransi, Dari PSP Sangat Dibutuhkan Pada Saat Terjadi Tekanan Likuiditasnya, Lalu Kemana Kucuran PMN Rp 20 Triliun ?
Pemberian suntikan modal kerja dalam bentuk PMN atau bentuk lain seperti Pinjaman Subordinasi oleh PSP, sangat dimungkinkan menjadi solusi bagi BUMN asuransi. Hal ini, juga di perbolehkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 71/POJK.05/2016 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Perasuransian & Perusahaan Reasuransi, Pasal 51, ayat (3) berbunyi; "Langkah penyehatan keuangan        sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memuat rencana tindak sebagai berikut: (a). Restrukturisasi Aset dan/atau Restrukturisasi Liabilitas; (b).Penambahan modal disetor; (c).Pemberian pinjaman subordinasi; (d).Peningkatan tarif premi; (e).Pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan; (f).Penggabungan badan usaha; dan/atau;(g).tindakan lain."
Jika, pemberian PMN tidak dimungkinkan, maka bisa dengan pinjaman subordinasi oleh Pemerintah, jadi tidak ada alasan untuk tidak memberikan akses permodalan dengan alasan belum ada aturan Undang-Undang (UU) yang mengaturnya, atau belum ada Peraturan Pemerintah (PP) terkait dana bailout PMN ke sektor industri perasuransian. Apa lagi BUMN asuransi itu 100 persen dimiliki oleh Negara, tinggal niat baiknya saja untuk membuat payung hukum tersebut. Dana PMN atau Pinjaman Subordinasi itu, diperlukan oleh perseroan ketika sedang menghadapi tekanan likuiditasnya. Di samping itu juga sekaligus untuk memperkuat kembali pada struktur permodalan, dan menyelesaikan kewajiban utang klaim yang sudah jatuh tempo, agar segera diselesaikan.Â
Hal ini, dimaksudkan agar BUMN asuransi bisa segera melanjutkan operasional bisnisnya dan sekaligus mengembalikan kepercayaan berasuransi kembali yang sudah terlanjur dirusak diruang publik oleh Direksinya dan agar penyelesaiannya dalam waktu yang tidak lama. Di harapkan, jika cepat penanganannya tersebut, untuk menghindari dampak buruk sistemik kepercayaan berasuransi dimasyarakat yang bisa luntur, dan merembet pada perusahaan asuransi lain.Â
Lebih lanjut, dapat tercipta pertumbuhan bisnis baru, dari nasabah polis eksisting yang ada atau dari sumber referensi yang lain. Akan tetapi, Â pelayanan klaim itu sepertinya sengaja disumpal oleh Direksi, sehingga tidak lagi berfungsi secara normal dan pro aktif memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh Nasabah Polis. Kini kepercayaan itu telah hilang, selama dinahkodai dari para profesional bank, justru yang terjadi sebuah "kehancuran" yang sangat masif, telah dipertontonkan diruang publik.
Janggal ! Kondisi Aset BUMN Asuransi Mengalami Penurunan Drastis, 2 Tahun Laporan Keuangan Tidak Dipublikasikan ?
Penurunan tingkat nilai aset perseroan asuransi itu, diketahui bahwa BUMN asuransi telah menghentikan operasional oleh Direksi perusahaan sejak tahun 2020 silam yang diikuti dengan adanya pembatalan seluruh portofolio polis aktif BUMN. Sementara kebutuhan biaya operasional perusahaan tetap jalan terus, tanpa ada income Premi asuransi yang masuk ke BUMN. Dimana, telah dijalankan seperti perusahaan yang beroperasi secara normal pada umumnya, ada over cost perusahaan yang membengkak. Sehingga, posisi aset milik Negara  itu, tidak menggambarkan posisi Aset yang wajar. Lalu dimana fungsi pengawasan (controller), dan peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selama ini, yang memposisikan sebagai wakil dari  Pemerintah sebagai regulator.
Menurunya kondisi aset Negara, yang tidak tubuh pada BUMN sektor asuransi sangat mengkawatirkan, dan dinilai ada rekayasa. Jika penurunan aset-aset perseroan tersebut, menyebabkan tidak mampu menyelesaikan tunggakan seluruh pembayaran klaim asuransinya bagi nasabah polis BUMN. Lalu, siapa yang akan bertanggungjawab ? Apakah seorang Mentri BUMN yang menempatkan, dan memilih Direksi BUMN asuransi, kemudian diuji tuntas oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang melakukan uji kelayakan dan kepatutan sebagai Direksi BUMN. Sekarang sudah terjadi Kehancuran itu, menimpa pada BUMN asuransi yang sebelumnya, telah dilakukan lolos Uji Kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang sebelum telah lolos menjadi Direksi BUMN asuransi. OJK juga harus dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawabannya secara hukum atas hasil Fit and Proper Test para Direksi BUMN tersebut.Â