Membahas mengenai kriminologi, terdapat seorang ilmuwan Bernama Cesare Lombroso yang mana beliau merupakan seorang kriminolog Italia pada tahun 1876 yang menjelaskan mengenai teori 'determinisme antropologi' yang mana dalam teorinya menyatakan bahwa kriminalitas (kejahatan) yaitu suatu ciri yang sudah diwariskan atau dengan kata lain seseorang yang secara turun menurun sudah dilahirkan sebagai seorang "kriminal". Dalam hal ini, juga dapat dikatakan bahwa suatu ciri dari criminal (kejahatan) dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, seperti halnya memiliki rahang yang besar, dagunya condong maju ke depan, mempunyai dahi sempit, tulang pipi yang tinggi, memiliki hidung pipih atau lebar secara terbalik, memiliki dagu besar, sangat mencolok dalam berpenampilan, memiliki hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot jarang-jarang juga ketidakpekaan terhadap nyeri atau mati rasa, serta memiliki lengan yang panjang. Cesare Lombroso menyimpulkan bahwa terdapat banyak sekali kejahatan yang pelakunya adalah laki-laki. Sedangkan, perempuan yang melakukan tindak kejahatan artinya bahwa telah terjadi degenarasi atau kemunduran. Cesare Lombroso memiliki pandangan bahwa seharusnya sikap pasif, minimnya inisiatif dan intelektualitas perempuan akan membuatnya sulit untuk melakukan tindak kejahatan.
Bagaimana tindak kejahatan dapat terjadi?
Selain ilmuwan Bernama Cesare Lombroso terdapat pula ilmuwan lain yang membicarakan mengenai kejahatan, salah satunya yaitu bernama Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisanya ia memiliki pandangan sendiri mengenai apa yang menjadikan seseorang untuk melakukan tindak kriminal. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa dengan adanya ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego seseorang dapat membuat manusia menjadi lemah serta akibat lebihnya mungkin seseorang dapat melakukan perilaku penyimpangan atau kejahatan. Sigmund Freud memeberikan pernyataan bahwa penyimpangan terbentuk dari rasa bersalah seseorang yang terlalu berlebihan yang menjadikan akibat dari superego berlebih. Seseorang dengan superegonya yang tinggi maka akan selalu merasa bersalah tanpa adanya alasan dan ingin dihukum, dan salah satu cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah tersebut justru dengan melakukan tindak kejahatan. Kejahatan itu dilakukan untuk menimilasir rasa superegonya karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalahnya.
Selain itu, Sigmund Freud menjelaskan bahwa kejahatan timbul dari prinsip "kesenangan". Pada dasarnya manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya dapat mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasannya yang mana dengan prinsip kesenangan. Yang mana di dalamnya termasuk keinginan untuk makan, melakukan seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id. Â Sigmund Freud mempercayai bahwa jika hal ini tidak dapat diperoleh secara legal ataupun sesuai dengan aturan sosial, yang berarti setiap orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Pada dasarnya pemahaman moral terkait benar dan salah yang sudah ditanamkan sejak masa kanak seharusnya dapat bekerja sebagai superego yang bisa mengimbangi dan mengontrol Id. Namun permasalahannya jika pemahaman moral masih minim dan superego tidak dapat berkembang secara sempurna, maka akana mengakibatkan seorang anak dapat tumbuh menjadi individu yang memiliki kekurangan untuk mengontrol dorongan Id, serta ingin melakukan segala bentuk untuk meraih apa yang dibutuhkannya untuk memenuhi kepuasannya. Menurut pandangannya ini, kejahatan bukan hasil dari kepribadian secara kriminal, tetapi dari berasala dari kelemahan ego. Sehingga ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id ini akan melemah dan membuat manusia rentan dalam melakukan suatu penyimpangan.
Dalam perspektif Belajar Sosial, seorang ilmuwan bernama Albert Bandura menjelaskan bahwa suatu perilaku kejahatan adalah buah hasil dari proses belajar psikologis, yang mekanismenya berasal dari perolehan melalui pemaparan terhadap perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga terjadi pengulangan paparan yang tindakannya disertai dengan penguatan atau penghargaan, yang malah semakin mendukung seseorang untuk meniru perilaku kejahatan yang terjadi depan mata mereka. Seperti contohnya: jika seorang anak sedang mengamati orang tuanya melakukan tindak mencuri dan memberi pemahaman ke otaknya bahwa suatu tindakan mencuri uang dapat memberikan penghargaan yang positif atau langsung memiliki uang banyak tanpa bersusah payah lagi dan dapat menggunakannya untuk bersenang-senang. Maka dari itu, anak akan meniru perilaku mencuri dari orang tuanya. Dalam pandangan lain, anak akan menangkap bahwa suatu perilaku yang tidak dihasilkan dengan penghargaan atau menghasilkan reaksi yang negatif maka anak akan belajar untuk tidak melakukannya atau dengan kata lain dapat mempraktekan untuk tidak mengulangi sehingga akan terhindar dari efek negatif. Dalam padangan ini, Albert Bandura mempercayai bahwa manusia mempunyai kapasitas pemikiran aktif yang dapat memiliki teguh dalam pikirannya apakah akan meniru atau tidak mempraktekan perilaku yang sudah mereka amati dari lingkungan sosial mereka.
Dalam teori Sosial telah memberikan penjelasan bahwa suatu perilaku kejahatan merupakan hasil dari kerusakan sistem dan struktur sosial. Yang mana dalam hal ini, dapat diambil contoh dari seorang penjahat yang memiliki latar belakang dari orang tua yang memiliki untu berpisah atau bercerai, semasa kecil telah mengalami masa sulit yang sudah cukup lama, terlahir dalam kehidupan di lingkungan yang miskin serta banyak melakukan pelanggaran hukum, tidak tamat dalam jenjang pendidikan, memiliki gangguan secara fisik baik terkena gangguan secara mental maupun gangguan psikologis lainnya. Namun dalam pandangan ini memiliki kesan bahwa setiap individu dapat dilihat sebagai pasif bentukan sistem pada sekelilingnya. Padahal sebenarnya pada pendekatan Bioekologis menurut Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal atau atas individu itu sendiri, yang mana termasuk di dalamnya yaitu aspek kepribadian, trauma, aspek biologis serta dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Memiliki arti bahwa perilaku kejahatan akan muncul dalam bentuk interaksi antara faktor personal maupun faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Seperti contoh: seseorang yang mengalami gangguan kepribadian, sesame kecil pernah mengalami pola pengasuhan yang membuat trauma dan saat ini memiliki kehidupan di lingkungan yang tidak terlalu memperdulikan hukum yang dapat membuatnya mudah untuk melakukan kejahatan.
Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kejahatan memmpunyai bentuk literatur yang berbeda-beda. Bahkan tindak perilaku kejahatan yang bersifat sama dapat dilandasi oleh alasan yang berbeda pula. Seperti contohnya: perlaku mencuri, yang mana seseorang yang melakukan hal tersebut terpaksa melakukannya untuk bertahan hidup, sedangkan yang lain melakukan tindak kejahatan tersebut hanya untuk mencari uang sebanyak mungkin dengan cuma-cuma tanpa harus melakukan suatu pekerjaan.
Mengenai beberapa penjelasan teori kejahatan di atas dapat berguna untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Serta mengetahui Mengapa dan bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan kepekaan serta keahlian dalam memilah-milah pandangan teori dalam menjelaskan kejahatan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Sehingga dengan pemahaman luas yang dapat terealisasi tersebut, besar harapan dapat dipahami mengenai bagaimana agar setiap manusia dapat memperlakukan dan memberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi terhadap psikologisnya. Dapat menjadikan pembelajaran pula agar proses pengoreksian dan rehabilitasi tindak kejahatan selanjutnya dapat dilakukan atas dasar penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat.
DAFTAR PUSTAKA :
Admin. (2006). Memahami Untuk Membasmi "Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK RI.
C. I., M. A. (2022, 26 Maret). Upaya Pencegahan Korupsi. Kompasiana.