Mohon tunggu...
Latifani Khoerinnisa
Latifani Khoerinnisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak NIM : 43221010009 Nama : Latifani Khoerinnisa Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 2_Pemahaman Pencegahan Korupsi dan Kejahatan Model Anthony Giddens

13 November 2022   04:43 Diperbarui: 13 November 2022   04:53 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Latifani Khoerinnisa

Nama Dosen : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

NIM : 43221010009

Nama : Latifani Khoerinnisa

S1 Akuntansi

Universitas Mercu Buana

Sebagian dari kita pasti sudah tidak asing lagi mendengar kata korupsi dan kejahatan, yang mana kedua hal tersebut sudah hampir menjadi hal yang tidak biasa lagi dilakukan oleh sebagian tokoh masyarakat maupun masyarakatnya sendiri, baik didalam maupun diluar negeri.

Berdasarkan penelitian terhadap ketiadaan korupsi yang terdapat pada ROLI tahun 2020, Indonesia pada tahun lalul berada di peringkat 92 dari total 128 negara yang memiliki skor 0,39. Namun, pada tahun 2019 Indonesia terletak di peringkat 97 dari total 126 negara yang memiliki skor 0,38. Dalam hal ini, baik secara peringkap maupun skor, Indonesia tidak terlalu mengalami peningkatan yang signifikan.

Sedangkan, pada tahun 2022 Indonesia berada pada posisi ke-65 dari 137 negara. Adapun Indonesia memiliki skor indeks kriminalitas, yaitu 45,93 poin. Dalam hal ini kita harus bisa menggali lebih dalam terkait pemahaman mengenai ap aitu korupsi dan kejahatan agar diri kita sendiri dapat mencegahnya sebelum terjadi dan mengetahui apa hukuman bagi pelaku kejahatan yang sudah ditetapkan oleh setiap negara.

Maka dari itu, mari kita simak mengenai "Pencegahan Korupsi, dan Kejahatan Model Anthony Giddens".

Apa itu Korupsi?

Sebelumnya, korupsi sudah ada di Indonesia sejak lama. Baik itu praktik-praktik seperti penyalahgunaan wewenang, penyuapan, pemberian uang pelicin, pungutan liar, pemberian imbalan atas dasar kolusi dan nepotisme serta penggunaan uang negara untuk kepentingan pribadi, oleh masyarakat yang mana diartikan sebagai suatu perbuatan korupsi dan dipandang sebagai hal yang sudah lazim dilakukan di negara indonesia. Parahnya lagi walaupun usaha-usaha pemberantasannya sudah lama dilakukan baik itu lebih dari empat dekade, praktik-praktik korupsi di Indonesia ini tetap berlangsung, bahkan terdapat kecenderungan modus operasinta lebih canggih juga terorganisir, maka dari itu akan semakin mempersulit penanggulangannya.

Pengertian Korupsi sendiri seperti yang tercantum dalam UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu tindakan melawan hukum yang memilik maksud untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang mengakibatkan kerugikan negara ataupun perekonomian negara. Dalam korupsi sendiri terdapat beberapa kelompok pidananya yakni :

1. Merugikan keuangan Negara

2. Suap-menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi

Soemardjan seperti yang dikutip oleh Parwadi (2007: 58) mengatakan bahwa korupsi memiliki perumpaan seperti 'pelacuran'. Yang mana siapapun baik tokoh masyarakat maupun masyarakat biasa yang ikut terlibat, pihak yang langsung melakukan korupsi ataupun penikmat, memiliki kesamaan mendapatkan bagian hasil korupsi.

Sedangkan, menurut Parwadi beliau mengatakan bahwa korupsi memiliki perumpaan seperti 'candu' dan para pelakunya seperti 'pecandu' (pengguna obat-obatan terlarang), yang mana jika mereka memiliki kesempatan sekali untuk melakukan tindak korupsi kedepannya mereka akan ketagihan dan mengulaginya secara terus menerus.

Mengapa perilaku korupsi masih terjadi?

Sebagai pelaku tindak korupsi, para pelaku pasti memiliki beberapa faktor yang menyebabkan mereka melakukan hal tersebut. Maka dari itu berikut faktor-faktor penyebab korupsi di Indonesia yang terdiri atas 4 (empat) aspek, yaitu:

1. Aspek perilaku individu, merupakan faktor-faktor berasal dari dalam yang mendorong seseorang untuk melakukan tindak korupsi seperti memiliki sifat tamak, moral yang kurang kuat menghadapi godaan, pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, kebutuhan hidupnya yang mendesak, gaya hidup konsumtif, memiliki sifat malas dan tidak mau bekerja keras, juga tidak mengamalkan ajaran agama yang baik.

2. Aspek organisasi, merupakan minimnya sikap teladan dari pemimpinnya, budaya organisasi yang tidak baik, sistem akuntabilitas yang tidak memadai untuk pemakaian, kekurangan sistem pengendalian untuk manajemen, manajemen memiliki kecenderungan untuk menutupi perbuatan korupsi yang sedang terjadi dalam organisasi.

3. Aspek masyarakat, merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat yag mana individu dan organisasi tersebut berada, seperti : nilai-nilai yang berlaku secara kondusif untuk terjadinya tindak korupsi, rendahnya tingkat kesadaran bahwa yang paling mengalami pada terjadinya praktik korupsi yakni masyarakat dan diri mereka sendiri yang ikut serta terlibat dalam praktik korupsi, juga pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya dapat berhasil jika masyarakat ikut serta berperan aktif. Serta dengan adanya penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.

4. Aspek peraturan perundang-undangan, merupakan suatu penerbitan peraturan perundang-undangan yang bersifat monopolistik yang mana hal ini hanya menguntungkan kerabat dan atau kroni penguasa negara, kualitas peraturan perundang-undangan yang masih kurang memadai, judicial review yang masih kurang efektif, pemberian sanksi yang tidak berat, penerapan sanksi tidak konsisten dan masih pandang bulu, serta lemahnya bidang evaluasi dan revisi peraturan perundang-undangan.

Korupsi dalam hal ini sebagai suatu tindak kejahatan yang terstruktur yang dipandang oleh sebagian kalangan sebagai penyebab langsung dari politik kekuasaan. Kekuasaan sendiri seringkali didefinisikan sebagai yang berdasarkan atas tujuan dan kemauan, yang mana merupakan kemampuan dalam mencapai hasil-hasil yang diinginkan dan dimaksudkan. Sebaliknya Parsons (1971) dan Foucault (1979) misalnya, sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Giddens (1984: 15), memiliki pandangan bahwa kata kekuasaan memiliki arti sebagai kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial. Yang mana hal ini memberikan cerminan terkait dualisme di antara subjek dan objek, antara agen dan struktur. 'Kekuasaan' pada agensi menurut Giddens (1984: 14) memiliki arti suatu kemampuan untuk bertindak sebaliknya ataupun mampu melakukan campur tangan di dunia serta menarik intervesi itu, dengan efek mempengaruhi proses atau keadaan khusus secara sadar maupun tidak.

Korupsi dalam artian sebagai tindak kejahatan yang terstruktur memiliki keterlibatan atas sarana material yang mana salah satu yang dimaksud adalah uang. Dalam konsep Giddens dijelaskan, bahwa uang merupakan alat perentangan waktu dan ruang. Dalam hal ini uang merupakan alat simbolis atau sarana pertukaran terlepas baik itu berasal dari orang tertentu maupun kelompok tertentu yang memegangnya dalam waktu dan tempat dimanapun itu. Ekonomi uang (money economy) telah menjadi sedemikian abstrak dalam kondisi dewasa ini. "Money bracket time and space" (Giddens, 1991: 18).

Menurut Giddens (2003: 21) struktur merupakan rules and resources (aturan-aturan dan sumberdaya-sumberdaya) yang dapat disendirikan dan dapat menghasilkan risiko yang jelas, yakni kesalahan interpretasi. Yang mana dalam hal ini memiliki pengerian bahwa struktur semkain lama akan menjadi sistem dalam suatu kehidupan jika akan terus berulang terjadi dan teregulasi atau terlegitimasi oleh suatu gugusan terstruktur yang akhirnya akan menjadi sistem budaya yang sudah bukan menjadi pertanyaan lagi. Nilai-nilai yang sudah paten dalam kondisi ini akan tergerus seiring dengan keberlanjutan proses strukturasi yang terus menerus berulang di dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dari itu, daya kritis akan menjadi suatu kelemahan dan akan tergantikan oleh struktur-struktur yang melembaga sebagai akibat dari 'kesadaran praktis' (Priyono, 2002: 28-29).

Bagaimana tindak pencegahan korupsi?

Sumber : Latifani Khoerinnisa
Sumber : Latifani Khoerinnisa

Terkait dalam hal tindak korupsi yang sudah sangat terstruktur ini maka akan sangat diperlukannya pencegahan dalam praktisi kehidupan, dengan bantuan dari berbagai pihak yang mana masyarakat harus andil dalam keikutsertaannya dalam penanggulangan pencegahan kegiatan korupsi ini. Sehingga dengan keikutsertaan masyarakat ini akan memudahkan untuk melakukan pencegahan Tindakan korupsi. Berikut beberapa tindak pencegahan penanggulangan korupsi :

1. Strategi Preventif

Upaya preventif merupakan suatu bentuk usaha untuk melakukan pencegahan korupsi yang diarahkan untuk meminimalisir penyebab serta peluang seseorang untuk melakukan tindak korupsi. Dalam hal ini, upaya preventif dapat dilakukan dengan cara:

- Memperkuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

- Memperkuat Mahkamah Agung dan jajaran peradilan bawahannya.

- Membangun kode etik pada sektor publik.

- Membangun kode etik pada sektor partai politik, organisasi profesi, dan asosiasi bisnis. Dengan cara meneliti lebih jauh sebab-akibat perbuatan korupsi secara berkelanjutan.

- Menyempurnakan manajemen sumber daya manusia (SDM) dan meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri.

- Membuat kewajiban perencanaan strategis dan laporan akuntabilitas kinerja bagi para instansi pemerintah.

- Meningkatkan kualitas penerapan dalam sistem pengendalian manajemen.

- Menyempurnakan manajemen barang kekayaan milik negara (BKMN).

- Meningkatkan kualitas pelayanan pada masyarakat.

- Melakukan kampanye untuk menciptakan value secara nasional.

2. Strategi Detektif

Upaya detektif merupakan suatu bentuk usaha yang ditujukan untuk mengarahkan deteksi terjadinya kasus-kasus korupsi secara cepat, tepat, dan biaya murah. Sehingga dapat segera ditindaklanjuti. Berikut upaya detektif pencegahan korupsi:

- Memperbaiki sistem dan menindak lanjuti pengaduan dari masyarakat. Dengan cara pemberlakuan kewajiban pelaporan transaksi keuangan tertentu.

- Melakukan pelaporan kekayaan pribadi pemegang jabatan serta fungsi publik.

- Melakukan partisipasi Indonesia terhadap gerakan anti korupsi serta anti pencucian uang pada kancah internasional.

- Membuat peningkatan kemampuan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) untuk mendeteksi tindak pidana korupsi.

3. Strategi Represif

Upaya represif merupakan suatu bentuk usaha yang dilakukan sebagai arahan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat segera diproses dengan cepat, tepat, dan dengan biaya murah. Sehingga para pelaku tindak korupsi akan segera diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam hal ini, upaya represif dalam mencegah tindak pidana korupsi yaitu:

- Melakukan penguatan kapasitas badan / komisi anti korupsi.

- Melakukan penyelidikan, penuntutan, peradilan, serta penghukuman koruptor besar dengan sanksi efek jera.

- Membuat penentuan jenis-jenis / kelompok korupsi yang diprioritaskan untuk diberantas.

- Membuat pemberlakuan konsep pembuktian terbalik. Dengan cara meneliti serta melakukan evaluasi proses penanganan perkara korupsi dalam sistem peradilan pidana secara berkelanjutan.

- Melakukan pemberlakuan sistem pemantauan dengan proses penanganan tindak korupsi secara terstruktur.

- Mempublikasikan kasus-kasus tindak pidana korupsi beserta analisisnya.

- Melakukan pengaturan kembali hubungan dan standar kerja antara tugas penyidik tindak pidana korupsi dengan penyidik umum, penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS, serta penuntut umum.

Dalam pelaksanaan strategi preventif, detektif dan represif sebagaimana yang telah dijelaskan di atas hal ini akan memakan waktu yang sangat lama, dikarenakan dalam ketiga strategi tersebut melibatkan seluruh komponen bangsa, baik itu legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Sembari terus menerus berupaya dalam mewujudukan ketiga strategi di atas, maka diperlukan untuk membuat upaya-upaya yang nyata bersifat sesegera mungkin. Yang mana nantinya upaya yang bersifat dapat sesegera mungkin itu dilakukan guna mencegah dan menanggulangi korupsi yang diantaranya yaitu dengan meningkatkan fungsi pengawasan, yaitu sistem pengawasan internal atau dari dalam (built in control), maupun pengawasan fungsional, yang dapat dipadupadankan dengan pengawasan masyarakat (wasmas) dan pengawasan legislatif (wasleg).

Setelah kita mengetahui apa itu korupsi, serta bagaimana cara pencegahannya baik itu secara internal maupun eksternal. Selanjutnya mari kita bahas mengenai "Kejahatan Menurut Model Anthony Giddens".

Jika kita membahas mengenai korupsi pastinya sudah sangat melekat keterkaitannya dengan kata kejahatan, Yang mana korupsi ini berawal dari suatu keinginan jahat seseorang secara naluri yang membuat nafsu dirinya untuk berbuat suatu kejahatan, walaupun mayoritas dari seluruh masyarakat Indonesia cenderung lebih banyak dijahati daripada menjahati. Maka dari itu, kita perlu mengetahui lebih dalam apa yang terdapat di benak para pelaku kejahatan sehingga memiliki niat untuk menjahati seseorang.

Apa itu kejahatan?

Sumber : Latifani Khoerinnisa
Sumber : Latifani Khoerinnisa

Pada saat berbicara mengenai kejahatan, terdapat banyak sekali hal yang dapat diulik lebih dalam. Biasanya dengan awalan membahas mengenai definisi dari kejahatan. Kata kejahatan dalam bahasa Inggris biasa disebut dengan istilah evil atau crime. Yang mana terdapat perbedaan diantara keduanya, bedanya evil yaitu suatu kejahatan yang biasa terjadi akibat dari unsur kemalangan, sedangkan crime lebih menjurus kepada kejahatan yang terjadi akibat dari unsur kesalahan manusia.

Dari kedua istilah kejahatan dalam bahasa Inggris tersebut dapat dijadikan sebagai pengertian dari kejahatan yakni Kejahatan yang sering sekali diartikan sebagai perilaku pelanggaran aturan atau norma hukum yang mengakibatkan seseorang dapat terjerat sanksi berupa hukuman. Kejahatan seringkali terjadi saat seseorang melanggar hukum baik secara langsung maupun tidak langsung, atau suatu bentuk kelalaian yang mengakibatkan seseorang jatuh pada hukuman. Dalam perspektif hukum ini, sikap kejahatan terkesan aktif, dalam artian manusia melakukan tindak kejahatan. Namun sebenarnya "tidak berperilaku" kejahatan pun dapat dikatakan menjadi suatu bentuk kejahatan. Misalnya seperti: menelantarkan anak atau tidak memberi laporan kepada pihak berwenang saat mengetahui telah terjadi tindak kekerasan pada anak dibawah umur yang terjadi di sekitar kita.

Begitupula terdapat perspektif moral. Dalam hal ini moral atau perilaku dapat dibagi sebagai kejahatan yang memiliki 2 faktor yaitu:

1. Mens rea (terdapat niatan melakukan menjadi perilaku),

2. Actus reus (perilaku yang terjadi tanpa paksaan dari orang lain).

Dalam kedua perspektif diatas dapat diambil contoh seperti: pembunuhan yang disebut sebagai tindak kejahatan pada saat pelaku telah memiliki niat untuk menghabisi nyawa orang lain, serta ide maupun pelaksanaan perilaku pembunuhan yang mana terdapat dalam diri pelaku sendiri tanpa adanya rasa paksaan dari orang lain. Selanjutnya, jika pelaku terverifikasi memiliki gangguan mental sehingga menyebabkan niat ingin melakukan kejahatannya tersebut diluar dari kesadaran, Seperti: perilaku kejahatan yang terjadi pada saat sedang tidur atau tidak sadarkan diri, maka dalam hal ini faktor mens rea-nya dapat dianggap secara tidak utuh, atau tidak bisa secara nyata dinyatakan sebagai tindak kejahatan, dikarenakan orang yang memiliki gangguan mental tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perilaku yang telah dibuatnya tersebut.

Mengapa tindak kejahatan masih terjadi?

Sumber : Latifani Khoerinnisa
Sumber : Latifani Khoerinnisa

Menurut pandangan dari Giddens (1984: 13) terkait penyebab tindakan kejahatan, dengan pendapatnya mengatakan bahwa suatu kejahatan dapat dianalisis dengan cara meng-akumulasi setiap peristiwa yang berasal dari keadaan dengan pemicu yang tanpa adanya keadaan ini maka tidak akan bisa ditemukan akumulasi tersebut. Maka dari itu, keadaan tersebut dapat dipahami dalam logika strukturasi, yang mana penataan relasi-relasi sosial lintas ruang dan waktu berdasarkan dualitas struktur.

Terdapat banyak sekali bentuk dan macam dari tindak kejahatan, maka dari itu akan sangat menarik untuk mengetahui apa saja hal yang dapat menyebabkan seseorang dapat melakukan tindak kejahatan. Yang pada hakikatnya sedari dulu manusia telah berusaha menjelaskan mengapa alasan seorang dapat menjadi penjahat. Pada awal penjelasan yang dibahas adalah mengenai Model Demonologi. Pada zaman dahulu perilaku kriminalitas dianggap sebagai perilaku yang berasal dari pengaruh roh jahat. Maka karena pengaruh perilaku roh jahat tersebut, orang zaman dahulu dapat mengatasi hal tersebut dengan cara mengatakan untuk menyembuhkan gangguan mental dan perilaku jahat itu dengan mengusir roh kejahatan, yang biasa dilakukan dengan beberapa cara seperti: menyiksa, mengeluarkan beberapa bagian tubuhnya yang dianggap jahat (misalkan darah, atau bagian organ tubuh lainnya).

Dalam kajian Psikologi Forensik, dikenal dengan beberapa pendekatan teoritis yang biasa digunakan untuk menjelaskan perilaku kejahatan yakni : Kriminologi awal (Cesare Lombroso), Psikoanalisa (Sigmund Freud), dan Teori Bioekologi-Sosial.

Membahas mengenai kriminologi, terdapat seorang ilmuwan Bernama Cesare Lombroso yang mana beliau merupakan seorang kriminolog Italia pada tahun 1876 yang menjelaskan mengenai teori 'determinisme antropologi' yang mana dalam teorinya menyatakan bahwa kriminalitas (kejahatan) yaitu suatu ciri yang sudah diwariskan atau dengan kata lain seseorang yang secara turun menurun sudah dilahirkan sebagai seorang "kriminal". Dalam hal ini, juga dapat dikatakan bahwa suatu ciri dari criminal (kejahatan) dapat diidentifikasi dengan ciri fisik seseorang, seperti halnya memiliki rahang yang besar, dagunya condong maju ke depan, mempunyai dahi sempit, tulang pipi yang tinggi, memiliki hidung pipih atau lebar secara terbalik, memiliki dagu besar, sangat mencolok dalam berpenampilan, memiliki hidung bengkok atau bibir tebal, mata licik, jenggot jarang-jarang juga ketidakpekaan terhadap nyeri atau mati rasa, serta memiliki lengan yang panjang. Cesare Lombroso menyimpulkan bahwa terdapat banyak sekali kejahatan yang pelakunya adalah laki-laki. Sedangkan, perempuan yang melakukan tindak kejahatan artinya bahwa telah terjadi degenarasi atau kemunduran. Cesare Lombroso memiliki pandangan bahwa seharusnya sikap pasif, minimnya inisiatif dan intelektualitas perempuan akan membuatnya sulit untuk melakukan tindak kejahatan.

Bagaimana tindak kejahatan dapat terjadi?

Selain ilmuwan Bernama Cesare Lombroso terdapat pula ilmuwan lain yang membicarakan mengenai kejahatan, salah satunya yaitu bernama Sigmund Freud dalam perspektif Psikoanalisanya ia memiliki pandangan sendiri mengenai apa yang menjadikan seseorang untuk melakukan tindak kriminal. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa dengan adanya ketidakseimbangan hubungan antara Id, Ego dan Superego seseorang dapat membuat manusia menjadi lemah serta akibat lebihnya mungkin seseorang dapat melakukan perilaku penyimpangan atau kejahatan. Sigmund Freud memeberikan pernyataan bahwa penyimpangan terbentuk dari rasa bersalah seseorang yang terlalu berlebihan yang menjadikan akibat dari superego berlebih. Seseorang dengan superegonya yang tinggi maka akan selalu merasa bersalah tanpa adanya alasan dan ingin dihukum, dan salah satu cara yang dilakukannya untuk menghadapi rasa bersalah tersebut justru dengan melakukan tindak kejahatan. Kejahatan itu dilakukan untuk menimilasir rasa superegonya karena mereka secara tidak sadar sebenarnya menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalahnya.

Selain itu, Sigmund Freud menjelaskan bahwa kejahatan timbul dari prinsip "kesenangan". Pada dasarnya manusia memiliki dasar biologis yang sifatnya dapat mendesak dan bekerja untuk meraih kepuasannya yang mana dengan prinsip kesenangan. Yang mana di dalamnya termasuk keinginan untuk makan, melakukan seks, dan kelangsungan hidup yang dikelola oleh Id.  Sigmund Freud mempercayai bahwa jika hal ini tidak dapat diperoleh secara legal ataupun sesuai dengan aturan sosial, yang berarti setiap orang secara naluriah akan mencoba untuk melakukannya secara ilegal. Pada dasarnya pemahaman moral terkait benar dan salah yang sudah ditanamkan sejak masa kanak seharusnya dapat bekerja sebagai superego yang bisa mengimbangi dan mengontrol Id. Namun permasalahannya jika pemahaman moral masih minim dan superego tidak dapat berkembang secara sempurna, maka akana mengakibatkan seorang anak dapat tumbuh menjadi individu yang memiliki kekurangan untuk mengontrol dorongan Id, serta ingin melakukan segala bentuk untuk meraih apa yang dibutuhkannya untuk memenuhi kepuasannya. Menurut pandangannya ini, kejahatan bukan hasil dari kepribadian secara kriminal, tetapi dari berasala dari kelemahan ego. Sehingga ego yang tidak mampu menjembatani kebutuhan superego dan id ini akan melemah dan membuat manusia rentan dalam melakukan suatu penyimpangan.

Dalam perspektif Belajar Sosial, seorang ilmuwan bernama Albert Bandura menjelaskan bahwa suatu perilaku kejahatan adalah buah hasil dari proses belajar psikologis, yang mekanismenya berasal dari perolehan melalui pemaparan terhadap perilaku kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang di sekitarnya, sehingga terjadi pengulangan paparan yang tindakannya disertai dengan penguatan atau penghargaan, yang malah semakin mendukung seseorang untuk meniru perilaku kejahatan yang terjadi depan mata mereka. Seperti contohnya: jika seorang anak sedang mengamati orang tuanya melakukan tindak mencuri dan memberi pemahaman ke otaknya bahwa suatu tindakan mencuri uang dapat memberikan penghargaan yang positif atau langsung memiliki uang banyak tanpa bersusah payah lagi dan dapat menggunakannya untuk bersenang-senang. Maka dari itu, anak akan meniru perilaku mencuri dari orang tuanya. Dalam pandangan lain, anak akan menangkap bahwa suatu perilaku yang tidak dihasilkan dengan penghargaan atau menghasilkan reaksi yang negatif maka anak akan belajar untuk tidak melakukannya atau dengan kata lain dapat mempraktekan untuk tidak mengulangi sehingga akan terhindar dari efek negatif. Dalam padangan ini, Albert Bandura mempercayai bahwa manusia mempunyai kapasitas pemikiran aktif yang dapat memiliki teguh dalam pikirannya apakah akan meniru atau tidak mempraktekan perilaku yang sudah mereka amati dari lingkungan sosial mereka.

Dalam teori Sosial telah memberikan penjelasan bahwa suatu perilaku kejahatan merupakan hasil dari kerusakan sistem dan struktur sosial. Yang mana dalam hal ini, dapat diambil contoh dari seorang penjahat yang memiliki latar belakang dari orang tua yang memiliki untu berpisah atau bercerai, semasa kecil telah mengalami masa sulit yang sudah cukup lama, terlahir dalam kehidupan di lingkungan yang miskin serta banyak melakukan pelanggaran hukum, tidak tamat dalam jenjang pendidikan, memiliki gangguan secara fisik baik terkena gangguan secara mental maupun gangguan psikologis lainnya. Namun dalam pandangan ini memiliki kesan bahwa setiap individu dapat dilihat sebagai pasif bentukan sistem pada sekelilingnya. Padahal sebenarnya pada pendekatan Bioekologis menurut Urie Brofenbenner, terdapat interaksi faktor personal atau atas individu itu sendiri, yang mana termasuk di dalamnya yaitu aspek kepribadian, trauma, aspek biologis serta dengan faktor sistem sosial di sekelilingnya. Memiliki arti bahwa perilaku kejahatan akan muncul dalam bentuk interaksi antara faktor personal maupun faktor lingkungan yang harus dapat diidentifikasi. Seperti contoh: seseorang yang mengalami gangguan kepribadian, sesame kecil pernah mengalami pola pengasuhan yang membuat trauma dan saat ini memiliki kehidupan di lingkungan yang tidak terlalu memperdulikan hukum yang dapat membuatnya mudah untuk melakukan kejahatan.

Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kejahatan memmpunyai bentuk literatur yang berbeda-beda. Bahkan tindak perilaku kejahatan yang bersifat sama dapat dilandasi oleh alasan yang berbeda pula. Seperti contohnya: perlaku mencuri, yang mana seseorang yang melakukan hal tersebut terpaksa melakukannya untuk bertahan hidup, sedangkan yang lain melakukan tindak kejahatan tersebut hanya untuk mencari uang sebanyak mungkin dengan cuma-cuma tanpa harus melakukan suatu pekerjaan.

Mengenai beberapa penjelasan teori kejahatan di atas dapat berguna untuk memahami kasus-kasus kejahatan. Serta mengetahui Mengapa dan bagaimana perilaku kejahatan dapat muncul dalam suatu kasus kejahatan. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan kepekaan serta keahlian dalam memilah-milah pandangan teori dalam menjelaskan kejahatan dalam mencari titik terang suatu kasus kejahatan. Sehingga dengan pemahaman luas yang dapat terealisasi tersebut, besar harapan dapat dipahami mengenai bagaimana agar setiap manusia dapat memperlakukan dan memberikan konsekuensi hukum serta rehabilitasi terhadap psikologisnya. Dapat menjadikan pembelajaran pula agar proses pengoreksian dan rehabilitasi tindak kejahatan selanjutnya dapat dilakukan atas dasar penjelasan perilaku kejahatan yang akurat dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA :

Admin. (2006). Memahami Untuk Membasmi "Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK RI.

C. I., M. A. (2022, 26 Maret). Upaya Pencegahan Korupsi. Kompasiana.

Margaretha. (2018). Mengapa Orang Melakukan Kejahatan?

Pembangunan, B. P. (2004). UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KORUPSI PADA PENGELOLAAN APBN/APBD. bpkp.go.id.

Thoyyibah, I. (2020). MAKNA KEJAHATAN STRUKTURAL KORUPSI DALAM PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI ANTHONY GIDDENS. Media.nelti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun