Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Eunicha Salsabila

10 Juni 2020   06:00 Diperbarui: 10 Juni 2020   06:05 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eunicha Salsabila


Hai, namaku Eunicha Salsabila. Panggil saja aku Cha. 20-an usiaku, anak kantoran pekerjaanku, pendek rambutku, dan anak pertama urutan kelahiranku. Terus, kalian mau tahu apa lagi tentangku? Status? Ah, sudahlah. Aku enggan membahasnya. Bagiku, ada tiga hal yang tidak perlu ditanyakan: agama, status, dan pendapatan.

Aku tinggal bersama kedua orang tua dan seorang adik. Well, keluargaku terkesan utuh dan cukup secara materi dari luar. Tapi...

Brak!

Hmmm, mulai lagi. Tanganku tergerak untuk mengunci kamar dan menutup telinga dengan headset. Dorongan dari syaraf-syaraf tanganku berlawanan dengan perintah dari instingku. Aku harus keluar, aku harus keluar.

Aku disambut pertengkaran orang tuaku setiba di luar kamar. Nyaris saja aku terpeleset di lantai licin. Siapakah yang telah menumpahkan sabun sebanyak ini?

“Ajari anakmu untuk memegang sesuatu dengan benar!” gertak Papaku. Wajahnya merah padam menahan murka.

“Cintya juga anakmu! Dan ini bukan salahnya!”

Ya ampun, ternyata mereka meributkan perkara kecil. Cintya, adikku yang menjadi lakon dalam perdebatan orang tua kami, melenggang dengan tampang tanpa dosa menuju dapur. Kuikuti dia. Ekor mataku menangkap Cintya yang tengah meminum air dari teko.

“Cintya, jangan minum dari situ. Ambil gelas dululah kalau mau minum,” tegurku.

Alih-alih menurut, Cintya menatapku nanar. Ekspresinya datar saat dia berkata,

“Alah, merasa sok benar, ya? Padahal, udah jelek-jelekin ortu kita di medsos.”

Aku membeku. Apa yang dimaksud Cintya? Bila pun aku merespon postingan tentang parenting di medsos, rasanya aku tak pernah menyebut-nyebut tentang buruknya keadaan rumahku.

“Apa maksud kamu, Cintya? Cha menjelekkan Mama dan Papa?”

Tanpa disangka, Mama bertolak pinggang di dapur. Mata tajamnya menyapu wajah kami berdua.

“Iya, Ma. Kakakku yang manis mention ke orang luar negeri, cerita kalau Mama dan Papa kasar saat bertengkar.” Cintya mengadu seraya mengeluarkan iPhone dari saku piyamanya.

Hatiku mencelos. Aku menelan saliva dengan gugup saat Mamaku meneliti iPhone milik putri bungsunya. Kotak ingatanku terbuka. Saat itu, aku mereply tweet seseorang tentang menjadi orang tua yang dewasa. Aku pun menjelaskan tentang pertengkaran orang tuaku tanpa menyebut nama mereka. Dan aku melupakan satu hal: Cintya sering meminjam akun Twitterku untuk mencari pengumuman give away.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Amarah Mamaku meledak. Kilat kemarahan terpancar di matanya.

“Anak durhaka kamu, ya! Tenggelam saja kamu! Beraninya bicara jelek tentang orang tuamu!” hardik Mamaku.

“Ya...aku minta maaf,” kataku sambil tertunduk.

“Jadi anak nggak pernah bikin orang tuanya bangga! Umur udah 20-an lebih  kerjanya gitu-gitu aja, gaji kecil, nggak punya posisi di kantor, sekarang malah mempermalukan orang tuanya! Keterlaluan!”

Kucoba berkompromi dengan kelenjar air mataku untuk tidak berproduksi. Pantang aku menangis di depan keluargaku. Mulai lagi Mamaku mengungkit tentang gaji dan karier. Wanita awal 50-an itu dicekoki doktrin dengan jenis-jenis pekerjaan keren bergaji besar di televisi. Pekerjaanku sebagai pengawas konten siaran tidaklah sukses di matanya.

Guys, inilah alasannya aku tak betah di rumah. Aku kangen kantor. Andai saja tak ada kebijakan WFH, aku lebih memilih tenggelam berhari-hari dengan pekerjaan di kantor ketimbang meluangkan waktu di rumah yang selalu dihiasi pertengkaran. Aku dapat menebak alur cerita yang terjadi: Mama-Papaku akan saling mendiamkan untuk berapa hari, aksi mogok memasak oleh Mamaku, dan rumah yang tak terurus. Jika dipikir-pikir, Mama-Papaku bagai dua anak kecil yang menikah.

Aku melangkah pergi tanpa kata. Pergi sejenak dari rumah adalah pilihan terbaik. Kusambar sandal gunung, dan aku menyusuri jalan sepanjang kompleks. Beberapa ibu tetangga yang melihatku berbisik-bisik. Aku masih bisa mendengar mereka dari sini.

“Sssttt...itu Cha, ya? Yang anaknya Dokter Lukman itu?”

“Iya. Istrinya pernah bantu suami saya soal sengketa tanah.”

“Aduh, kasihan ya. Udah kepala dua belum nikah. Padahal anak teman-teman saya yang sepantaran dia udah pada nikah semua.”

Tanganku terkepal kuat. Apa urusan mereka kalau aku belum menikah? Pilihanku untuk menikah atau selibat. Jujur saja, aku takut menikah gara-gara menyaksikan drama di rumahku. Ketakutanku adalah mendapat lelaki temperamental dan pemalas. Meski aku tak peduli dengan make up dan terkesan tomboy, bukan berarti aku tak pernah pacaran. Aku pernah menjalin kisah cinta selama satu setengah tahun. Namun, kisah cintaku dan kekasihku lindap ditelan perbedaan agama.

Aku berjalan dan terus berjalan. Tak kuabaikan gerombolan ibu penggosip itu. Tujuanku adalah sebuah rumah berpilar dan bercat putih di blok C. Mereka salah satu tetangga yang baik padaku. Pemilik rumah itu adalah seorang lelaki kaya dan baik hati bernama Calvin. Ia tinggal bersama anak semata wayangnya, Silvi. Aku kenal baik dengan putrinya.

**   

“Eunicha! Selamat ulang tahun, ya! Semoga diberi bonus umur panjang, kesehatan, dan dilindungi sama Tuhan!”

Sambutan Silvi begitu riang saat aku datang. Aku hampir lupa. Ternyata hari ini aku berulang tahun! Ucapan dan doa Silvi kuaminkan. Aku tahu bahwa dalam komunitas etnis Tionghoa, umur panjang adalah sebuah bonus.

“Makasih, Sayang. Ayah kamu mana?”

“Ayah di dalam. Lagi ber...”

Spontan Silvi menghentikan kalimatnya sendiri. Ia termenung. Parasnya berubah sendu. Aku paham. Ayah Silvi sedang berdoa. Silvi dan ayahnya tidak berdoa dengan cara yang sama.

Cepat-cepat kugiring Silvi ke ruang baca. Aku harus menghiburnya. Aku akan selalu ada untuknya, seperti dia selalu ada untukku. Dia ingat hari ultahku saja aku sudah sangat berterima kasih. Apa lagi dia sudah mengajakku menginap di rumahnya selama konfrontasi orang tuaku belum reda.

Aku kaget karena Calvin telah duduk menunggu kami di ruang baca. Segera saja Silvi naik ke pangkuan ayahnya. Aku tersenyum menatapi tangan Calvin yang membelai-belai rambut kawan dekatku.

“Ayah udah minum obat?” tanya Silvi penuh perhatian.

“Sudah, Sayang.” Calvin menjawab seraya memeluk dan mencium kening Silvi. Lalu pria tampan bermata sipit itu beralih menyapaku. Menanyai apa yang terjadi di rumahku. Dengan lembut ia menenteramkanku. Katanya, situasi rumahku akan kembali pulih seperti dulu.

Calvin dan Silvi merayakan ulang tahunku. Mereka menyajikan makan malam istimewa, semuanya menu favoritku. Kami bertiga melewati malam dengan bahagia. Terkadang, rumah tak selalu berwujud sebuah tempat atau ikatan darah. Ada kalanya rumah didapatkan lewat ikatan hati, kenyamanan, dan ketulusan tanpa menghakimi. Seperti inilah rumah yang kudapatkan dari Silvi dan ayahnya.

Aku tak bosan-bosannya memperhatikan kehangatan Calvin dan Silvi. Pelukan mereka, ciuman yang dihadiahkan Calvin untuk Silvi, belaian di rambut, tatapan penuh cinta, dan suara lembut mereka, sangat kontras dengan penghuni rumahku. Mungkin kalian pikir aku iri pada mereka. Tidak, sama sekali tidak. Hidupku dan hidup mereka tak dapat dibandingkan. Mereka juga punya masalah yang tidak kalah rumitnya.

“Silvi, maaf Sayangku...boleh Ayah tidur duluan?” Calvin meminta izin, susah payah membuat nada suaranya senormal mungkin. Padahal kutahu ia sejak tadi beberapa kali memegangi kepalanya. Mungkin Silvi tak memperhatikan.

Silvi memegang tangan ayahnya. “Kenapa, Ayah?”

“Hanya ingin tidur saja, Sayang.”

Mata Calvin tak bisa berdusta. Aku melirik Silvi gemas, berusaha memberi kode.

“Putri Ayah temenin ya? Silvi juga ngantuk. Good night, Cha.”

Mereka berjalan bergandengan tangan ke kamar utama. Aku beranjak ke kamar di sebelahnya. Calvin dan Silvi tidak pernah tidur di lantai atas karena kondisi tubuh Calvin yang agak khusus. Sebagian orang mungkin tak setuju bila seorang gadis tidur bersama ayahnya. Bukan masalah bagiku, takkan kuhakimi mereka seperti mereka menerimaku tanpa tendensi.

Di kamar yang kutempati, terdapat connecting door yang mengarah ke kamar utama. Pintu penghubung itu agak terbuka. Aku terlanjur berbaring di ranjang dan enggan turun lagi untuk menutupnya. Tak sengaja kutangkap suara-suara lembut dari kamar utama.

“Ayah, aku selalu berdoa agar Ayah diberi umur panjang sampai seratus tahun,” ujar Silvi.

“Tambahkan lagi doanya, Sayang. Agar Ayahmu ini kuat dan sehat. Untuk apa umur panjang bila Ayah hanya tergeletak di ranjang? Kamu hanya akan lelah merawat Ayah.”

“Aku bisa menghadapi apa pun asalkan bersama Ayah. Aku ikhlas melewati apa saja asalkan ada Ayah di sisiku...”

Kutebak mereka sedang berpelukan. Bola mataku memanas. Tak dapat kucegah kristal bening ini berjatuhan. Silvi beruntung memiliki ayah sebaik Calvin. Samar kudengar denting piano dari kamar sebelah dan suara nyanyian.

Tergoda aku ‘tuk berpikir

Dia yang tercinta

Mengapa lama tak nampak dirimu di sini

Jangankan ingin ku tersenyum

Tak ada gairah

Kuingin selalu bersamamu

Kini ku resah

Diriku lemah tanpamu

Gapai semua jemariku

Rangkul aku dalam bahagiamu

Kuingin bersama berdua selamanya

Jika kubuka mata ini

Kuingin selalu ada dirimu

Dalam kelemahan hati ini

Bersamamu aku tegar (Rossa-Tegar).

**   

Ribut-ribut di ruang tamu membangunkanku. Aku tergesa meninggalkan amar. Sungguh aneh melihat Silvi berdebat dengan ayahnya.

“Pokoknya kamu tidak boleh bertemu Jody,” kata Calvin tegas.

“Tetaplah di rumah dan jangan kemana-mana.”

Seraya mengentakkan kakinya, Silvi mengomel. “Ayah larang-larang aku. Aku ‘kan cuma mau ketemu karena aku sangat me...”

“Nak, Ayah takut. Seseorang yang sangat lembut pada anak kandungnya belum tentu bersikap serupa pada anak lain. Ayah tidak ingin putri Ayah sedih, kecewa, dan tertolak.”

Ujaran Silvi berikutnya membuat hatiku bagai dihujani kepingan es.

“Aku juga ingin merasakan seperti kebanyakan anak lainnya. Aku ingin salat bersama seorang ayah, berdoa bersama seorang ayah dengan cara yang sama. Ayah tidak bisa melakukan itu denganku.”

Wajah Calvin berubah pias. Aku segera menengahi mereka. Kuminta Silvi ikut bersamaku ke lantai atas.

“Silvi kok bilang gitu sama Ayah?” tegurku halus.

“Abisnya, Ayah nggak kasih izin,” bela Silvi.

“Oh Silvi, aku saja yang punya Papa seiman nggak pernah salat berjamaah. Hanya karena kamu nggak dapat apa yang kamu inginkan dari ayahmu, bukan berarti kamu bisa mengembargonya.”

Gadis itu terdiam. Satu tangan memilin-milin rambut panjangnya. Ingin kukatakan pada Silvi betapa beruntungnya dia. Silvi memiliki ayah yang nyaris sempurna.

“Siapa yang menguncirkan rambutmu, Silvi?”

“Ayah Calvin.”

“Siapa yang bacain kamu soal ujian padahal orangnya lagi sakit?”

“Ayah.”

Cukup, cukup dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana dariku, Silvi terbuka hatinya. Kusaksikan dia minta maaf dan memeluk ayahnya. Tenang hatiku melihat mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun