“Makasih, Sayang. Ayah kamu mana?”
“Ayah di dalam. Lagi ber...”
Spontan Silvi menghentikan kalimatnya sendiri. Ia termenung. Parasnya berubah sendu. Aku paham. Ayah Silvi sedang berdoa. Silvi dan ayahnya tidak berdoa dengan cara yang sama.
Cepat-cepat kugiring Silvi ke ruang baca. Aku harus menghiburnya. Aku akan selalu ada untuknya, seperti dia selalu ada untukku. Dia ingat hari ultahku saja aku sudah sangat berterima kasih. Apa lagi dia sudah mengajakku menginap di rumahnya selama konfrontasi orang tuaku belum reda.
Aku kaget karena Calvin telah duduk menunggu kami di ruang baca. Segera saja Silvi naik ke pangkuan ayahnya. Aku tersenyum menatapi tangan Calvin yang membelai-belai rambut kawan dekatku.
“Ayah udah minum obat?” tanya Silvi penuh perhatian.
“Sudah, Sayang.” Calvin menjawab seraya memeluk dan mencium kening Silvi. Lalu pria tampan bermata sipit itu beralih menyapaku. Menanyai apa yang terjadi di rumahku. Dengan lembut ia menenteramkanku. Katanya, situasi rumahku akan kembali pulih seperti dulu.
Calvin dan Silvi merayakan ulang tahunku. Mereka menyajikan makan malam istimewa, semuanya menu favoritku. Kami bertiga melewati malam dengan bahagia. Terkadang, rumah tak selalu berwujud sebuah tempat atau ikatan darah. Ada kalanya rumah didapatkan lewat ikatan hati, kenyamanan, dan ketulusan tanpa menghakimi. Seperti inilah rumah yang kudapatkan dari Silvi dan ayahnya.
Aku tak bosan-bosannya memperhatikan kehangatan Calvin dan Silvi. Pelukan mereka, ciuman yang dihadiahkan Calvin untuk Silvi, belaian di rambut, tatapan penuh cinta, dan suara lembut mereka, sangat kontras dengan penghuni rumahku. Mungkin kalian pikir aku iri pada mereka. Tidak, sama sekali tidak. Hidupku dan hidup mereka tak dapat dibandingkan. Mereka juga punya masalah yang tidak kalah rumitnya.
“Silvi, maaf Sayangku...boleh Ayah tidur duluan?” Calvin meminta izin, susah payah membuat nada suaranya senormal mungkin. Padahal kutahu ia sejak tadi beberapa kali memegangi kepalanya. Mungkin Silvi tak memperhatikan.
Silvi memegang tangan ayahnya. “Kenapa, Ayah?”