“Silvi kok bilang gitu sama Ayah?” tegurku halus.
“Abisnya, Ayah nggak kasih izin,” bela Silvi.
“Oh Silvi, aku saja yang punya Papa seiman nggak pernah salat berjamaah. Hanya karena kamu nggak dapat apa yang kamu inginkan dari ayahmu, bukan berarti kamu bisa mengembargonya.”
Gadis itu terdiam. Satu tangan memilin-milin rambut panjangnya. Ingin kukatakan pada Silvi betapa beruntungnya dia. Silvi memiliki ayah yang nyaris sempurna.
“Siapa yang menguncirkan rambutmu, Silvi?”
“Ayah Calvin.”
“Siapa yang bacain kamu soal ujian padahal orangnya lagi sakit?”
“Ayah.”
Cukup, cukup dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana dariku, Silvi terbuka hatinya. Kusaksikan dia minta maaf dan memeluk ayahnya. Tenang hatiku melihat mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H