“Hanya ingin tidur saja, Sayang.”
Mata Calvin tak bisa berdusta. Aku melirik Silvi gemas, berusaha memberi kode.
“Putri Ayah temenin ya? Silvi juga ngantuk. Good night, Cha.”
Mereka berjalan bergandengan tangan ke kamar utama. Aku beranjak ke kamar di sebelahnya. Calvin dan Silvi tidak pernah tidur di lantai atas karena kondisi tubuh Calvin yang agak khusus. Sebagian orang mungkin tak setuju bila seorang gadis tidur bersama ayahnya. Bukan masalah bagiku, takkan kuhakimi mereka seperti mereka menerimaku tanpa tendensi.
Di kamar yang kutempati, terdapat connecting door yang mengarah ke kamar utama. Pintu penghubung itu agak terbuka. Aku terlanjur berbaring di ranjang dan enggan turun lagi untuk menutupnya. Tak sengaja kutangkap suara-suara lembut dari kamar utama.
“Ayah, aku selalu berdoa agar Ayah diberi umur panjang sampai seratus tahun,” ujar Silvi.
“Tambahkan lagi doanya, Sayang. Agar Ayahmu ini kuat dan sehat. Untuk apa umur panjang bila Ayah hanya tergeletak di ranjang? Kamu hanya akan lelah merawat Ayah.”
“Aku bisa menghadapi apa pun asalkan bersama Ayah. Aku ikhlas melewati apa saja asalkan ada Ayah di sisiku...”
Kutebak mereka sedang berpelukan. Bola mataku memanas. Tak dapat kucegah kristal bening ini berjatuhan. Silvi beruntung memiliki ayah sebaik Calvin. Samar kudengar denting piano dari kamar sebelah dan suara nyanyian.
Tergoda aku ‘tuk berpikir
Dia yang tercinta