Alih-alih menurut, Cintya menatapku nanar. Ekspresinya datar saat dia berkata,
“Alah, merasa sok benar, ya? Padahal, udah jelek-jelekin ortu kita di medsos.”
Aku membeku. Apa yang dimaksud Cintya? Bila pun aku merespon postingan tentang parenting di medsos, rasanya aku tak pernah menyebut-nyebut tentang buruknya keadaan rumahku.
“Apa maksud kamu, Cintya? Cha menjelekkan Mama dan Papa?”
Tanpa disangka, Mama bertolak pinggang di dapur. Mata tajamnya menyapu wajah kami berdua.
“Iya, Ma. Kakakku yang manis mention ke orang luar negeri, cerita kalau Mama dan Papa kasar saat bertengkar.” Cintya mengadu seraya mengeluarkan iPhone dari saku piyamanya.
Hatiku mencelos. Aku menelan saliva dengan gugup saat Mamaku meneliti iPhone milik putri bungsunya. Kotak ingatanku terbuka. Saat itu, aku mereply tweet seseorang tentang menjadi orang tua yang dewasa. Aku pun menjelaskan tentang pertengkaran orang tuaku tanpa menyebut nama mereka. Dan aku melupakan satu hal: Cintya sering meminjam akun Twitterku untuk mencari pengumuman give away.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Amarah Mamaku meledak. Kilat kemarahan terpancar di matanya.
“Anak durhaka kamu, ya! Tenggelam saja kamu! Beraninya bicara jelek tentang orang tuamu!” hardik Mamaku.
“Ya...aku minta maaf,” kataku sambil tertunduk.
“Jadi anak nggak pernah bikin orang tuanya bangga! Umur udah 20-an lebih kerjanya gitu-gitu aja, gaji kecil, nggak punya posisi di kantor, sekarang malah mempermalukan orang tuanya! Keterlaluan!”