Ayah Calvin tertusuk karena dirinya. Ayah Calvin melindungi Jose dan dialah yang menjadi korban. Dalam hati, Jose terus saja menyalahkan diri sendiri.
Demi Tuhan, Jose takkan memaafkan pria bermasker hitam itu bila terjadi sesuatu yang buruk pada sang ayah. Bisa saja pintu maafnya terbuka untuk musuh bebuyutan sejak kecil. Senakal-nakalnya mendiang Adi, dia tak pernah berniat serius membunuh orang. Namun, konvensi ini tidak berlaku untuk pelaku penusukan Ayah Calvin.
"Ayah...bertahanlah, Ayah. Sebentar lagi kita akan tiba di rumah sakit," bisik Jose. Berharap Ayah Calvin mendengarnya dari alam bawah sadar.
Lampu lalu lintas menyala merah. Pria 22 tahun itu menggeram kesal. Satu tangannya memukul setir. Kini kemarahan menyasar pada traffic light. Sama seperti yang lain, benda itu minim empati.
** Â Â
Santai sekali, pikir Jose gemas. Dua perawat yang berjalan di depannya sibuk mendorong tempat tidur beroda. Menurut Jose, langkah keduanya masih kurang cepat. Setiap detik sangatlah berharga.
"Kalian terlalu lambat! Tunjukkan saja jalannya pada saya!" gertak Jose. Tetiba ia mengambil alih brankar itu.
"Tuan, jangan..."
Seperti bermain kereta dorong, Jose membawa lari ranjang beroda itu. Dua suster berbaju putih di belakangnya kewalahan. Tak pernah sebelumnya ada keluarga pasien yang begitu tidak sabaran.
"Tuan Jose..."
"Apa lagi?" Jose berbalik tajam di belokan koridor.