“Mandilah, Princess. Ayah antar makanan ini dulu ke rumah para tetangga. Setelah itu, Silvi bisa Lebaran sama Ayah,” perintah Calvin. Segera saja perintah itu diangguki Silvi.
Silvi melangkah riang ke kamar mandi. Bermenit-menit dia habiskan untuk membilas diri. Anak cantik itu baru selesai berpakaian ketika sang ayah kembali.
“Muka Ayah kenapa?” Silvi bertanya interogatif begitu mendapati sebagian wajah dan ujung rambut Calvin basah.
Sesaat pria berjas hitam itu terdiam. Direngkuhnya pundak Silvi lembut. Bingung harus bagaimana menjelaskannya.
“Siapa yang lakuin itu ke Ayah?” desak Silvi.
“Ta-tadi...tadi ibunya temanmu mengusir Ayah. Ia menyiram air bekas mencuci beras ke wajah Ayah.”
Pembuluh darah Silvi berdenyar. Temannya? Ah, siapa lagi kalau bukan Firli? Hanya anak berbadan besar dan berhati kejam itu yang selalu merendahkan ayahnya. Firli serta keluarganya bukan tetangga yang baik.
“Trus Ayah tetap kirim makanan ke mereka?”
“Iya. Makanan yang sudah diniati akan diberikan tidak boleh diminta lagi, Princess.”
Silvi mengibaskan rambutnya marah. Lihat saja pelajaran yang akan diberikannya pada Firli. Mengapa pula ayahnya sebaik itu?
“Ayaaaah, apa kataku? Kita pindah aja dari sini. Kita balik ke rumah yang dulu. Ayah nggak cocok di sini.” Silvi bersungut-sungut. Gemas menarik lengan jas Calvin.