"Tahan ya Sayangku...tahan ya. Sebentar lagi kita sampai," ucap Ayah Calvin lembut, lembut sekali.
"Ayah jangan pergi lagi," rintih Silvi.
"Nggak, Sayang. Ayah selalu di sini, temani Silvi."
Beberapa kali mengurus anggota keluarga yang sakit, beberapa kali melihat kematian, tak pernah Ayah Calvin menangis. Ia baru meneteskan air mata malam ini. Air mata seorang ayah jatuh karena balon di kaki sang putri.
Kemacetan parah merintangi mereka di jalan dekat rumah sakit. Polisi berseragam hijau susah payah mengatur kesemrawutan. Kendaraan berlomba membunyikan klakson.
"Manda, rumah sakit tidak jauh lagi. Biar aku yang turun dan membawa Silvi..."
"Jangan, Calvin. Jalanan padat sekali. Bisa berbahaya. Aku takut kamu..."
Kata-katanya menggantung. Terlalu besar harga dirinya untuk mengungkapkan rasa takut kehilangan Ayah Calvin.
Macet tak berujung. Frustasi, Ayah Calvin nekat turun dari mobil. Ia berlari sambil menggendong Silvi. Bunda Manda menutup mata sejenak. Bersandar layu di sandaran kursi.
Lihatlah, Ayah Calvin menampakkan cinta setulus hati untuk Silvi. Pria dengan tinggi dan bobot tubuh ideal itu berlari menembus kemacetan, menghiraukan makian pengguna jalan demi putrinya. Mengapa hingga kini Bunda Manda masih meragu?
Ternyata kaki lebih cepat dari mobil. Ayah Calvin tiba sepuluh menit lebih cepat dari Bunda Manda. Wanita cantik itu baru saja memarkirkan mobil sewaktu Silvi dibawa ke UGD.