Usai shalat, anak cantik itu memberanikan diri merunduk menatap kakinya. Sedetik. Tiga detik. Lima detik. Ia hampir pingsan. Torehan-torehan besar nan memanjang di kakinya mengeluarkan darah bercampur nanah. Luka terparah ada di bawah lutut kaki kirinya. Bentuk luka itu seperti balon merah besar: perih, sakit, dan berdarah.
Balon.
Balon merah di kakinya.
Balon merah penuh darah membengkak di kaki Silvi.
Kepala Silvi terkulai ke bantal. Jadi, ini penyebabnya. Silvi sakit gara-gara balon merah itu.
Semua anak menyukai balon. Tapi, tidak ada balon yang membuat anak-anak sakit. Terkecuali balon merah berdarah dan bernanah yang kini membesar di kaki Silvi.
Putri disleksia itu menahan jeritan kagetnya. Ia jatuhkan gaun tidur menutupi kakinya. Jangan, jangan ada yang melihat balon merah itu.
Silvi sendirian di rumah. Tak ada yang bisa didatanginya untuk mengadu. Ayah Calvin dan Bunda Manda pergi berdua.
Pergi? Ya, mereka pergi meninggalkannya. Mereka pergi, Silvi tak diajak. Rasanya sedih sekali.
Menit-menit berlalu lambat. Sunyi merambati penjuru rumah. Silvi masih di posisinya. Terlentang menahan beratnya balon merah berdarah.
Lama, lama sekali Silvi terbiasa melukai diri. Selalu ada kelegaan sehabis menyayat tangan, menusuk kaki dengan kuku jari, mencakar, dan menusukkan paku. Anak itu punya media katarsisnya sendiri.