Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Ayah Menyayangiku Selamanya

14 April 2020   06:00 Diperbarui: 14 April 2020   06:28 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah Menyayangiku Selamanya

Malas bekerja. Takkan kalian temukan dua kata itu di kamus hidup Bunda Manda. Kemarin adalah hari berkabung. Hari ini hidup kembali berjalan.

Sepertiga akhir malam, wanita itu terbangun. Menggelung rambut panjangnya tinggi-tinggi. Ia melangkah ringan ke dapur. Saatnya menyiapkan menu katering.

Sesaat langkahnya surut. Bagaimana mau memasak? Bukankah kemarin dia belum sempat membeli bahan makanan? Waktu makin menipis. Ia harus meluncur ke pasar sekarang juga.

Satu-dua teguk air tak ada salahnya sebelum pergi. Tepat setelah tangan Bunda Manda meremas handel pintu lemari es, hatinya terkejut. Terkejut dengan setumpuk buah, sayuran, daging, ikan, dan ayam yang tertata rapi. Demi Ibrahim, siapakah yang memenuhi isi kulkasnya dengan bahan makanan selengkap ini?

Semua yang ia butuhkan ada di sini. Bahan-bahan makanan ini cukup untuk tiga minggu. Siapakah yang begitu baik hati membuat kulkasnya terisi kembali dengan Cuma-Cuma? Kalau Bunda Manda tahu siapa pelakunya, akan dia cium tangan orang itu.

Dua detik berselang, Bunda Manda menyesali janjinya. Pintu dapur bergeser membuka. Ayah Calvin mendekat. Tersenyum menatapi raut heran istrinya.

"Mau masak buat catering, kan? Aku sudah beli semua bahan makanan, Manda. Kamu tidak perlu repot belanja lagi," ujarnya.

Semangat Bunda Manda merosot. Jadi, kulkasnya penuh gara-gara Ayah Calvin? Semula ia pikir Barki atau Nandalah guardian angelnya.

"Kamu duga ini kerjaan jewelry sibling ya?" tebak Ayah Calvin.

Mungkinkah pria berpiyama putih ini alih profesi jadi cenayang? Jeli sekali dia membaca pikiran Bunda Manda. Sambil membuang muka, wanita itu mengeluarkan bahan-bahan makanan dari lemari pendingin.

Sayuran menggunung minta dicuci. Gumpalan daging yang harus dipotong terlalu banyak. Bawang putih dan bawang merah menagih untuk diiris. Bunda Manda mengusap wajah kebasnya. Belum apa-apa, ia sudah lelah memikirkan betapa banyak bahan makanan yang harus diurus sebelum masuk ke tahap pengolahan. Lelah ini wajar setelah peristiwa duka di hari kemarin.

"Berdua lebih baik, Manda. Percayalah padaku."

Ah, Ayah Calvin. Lihatlah, hot daddy itu bergerak gesit mencuci sayuran. Ia membantu Bunda Manda tanpa diminta.

Mau tak mau Bunda Manda mengakui suaminya benar. Sayuran, daging, dan bumbu lebih cepat tertangani bila dikerjakan berdua. Pekerjaan merepotkan ini terasa ringan.

"Kaukerjakan pesanan untuk siapa hari ini?" tanya Ayah Calvin, tangannya menggerakkan pisau naik-turun dalam gerakan berulang.

"Ada klien yang menikah. Mereka pesan seratus porsi," sahut Bunda Manda pendek.

"Kuharap ini yang terakhir, Manda."

Kepala berambut panjang itu tertoleh ke samping. Mempertanyakan maksud kalimat absurd itu tanpa suara. Ayah Calvin menghela nafas. Meneruskan pekerjaannya mengiris bawang sambil berkata.

"Ini terakhir kalinya kamu menerima pesanan katering. Kamu tak perlu bekerja lagi. Tinggallah di White Mansion. Atau kalau kau mau, bukalah kembali biro psikologi dan butikmu. Jangan teruskan usaha katering..."

Permintaan konyol itu disambuti tawa hambar. Memangnya Ayah Calvin siapa? Berani dia bilang begitu setelah meninggalkan dia dan Silvi. Jika ujaran itu dilayangkan tujuh tahun silam, Bunda Manda takkan ragu mengiyakan.

Tapi...

Segalanya telah berubah. Kepercayaan Bunda Manda pada pria yang terpaut 15 tahun dengannya telah pupus. Seorang pria yang menyia-nyiakan istri dan putrinya selama tujuh tahun, alamat kiamat cinta bagi pria itu.

Membuka butik dan biro psikologi? Dia pikir, berbisnis dua hal itu tidak murah? Mau bayar sewa gedung dan karyawan dari mana? Usaha katering, itulah yang mampu dilakukan Bunda Manda. Katering pulalah yang membuat hidupnya dan Silvi tersambung kembali walau tak stabil.

"Who do you think who you are, Calvin Wan?" desis Bunda Manda marah.

"Seenaknya saja menyuruh-nyuruhku berhenti bisnis katering. Sombong sekali dirimu. Kaupikir kekayaanmu bisa membeli lagi cintaku? Berkaca dulu sebelum bicara. Kemana saja kau selama tujuh tahun?"

Tetes-tetes air mata berjatuhan dari mata Ayah Calvin. Cengeng, pikir Bunda Manda geli. Digertak begitu saja menangis.

"Manda, aku tak tahan lagi."

Gumaman itu terdengar lirih, lirih sekali. Air mata belum berhenti menjatuhi mata sipitnya. Apa-apaan suaminya ini?

"Aku tak tahan lagi. Mataku perih sekali. Bawang putih jelek. Dia memedihkan mataku."

Hampir saja Bunda Manda terjungkal dari kursi yang didudukinya. Malu, malu, malu! Dia pikir Ayah Calvin menangis gegara penolakan pedasnya. Ternyata karena...

"Gantian, Manda. Biar aku yang memanggang daging."

Mereka bertukar tempat. Dengan wajah merona, Bunda Manda melanjutkan sisa pekerjaan Ayah Calvin. Merutuki hatinya yang sok tahu menduga-duga.

Berduaan dalam kesunyian bersama Ayah Calvin menjadi awkward moment buat Bunda Manda. Menyetel musik mungkin bukan ide buruk. Baru saja tangannya meraba smartphone di saku baju tidurnya, Ayah Calvin lebih dulu mengeluarkan iPod. Memutarkan sebuah lagu.

Lihat awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu
Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus kujalani

Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut

Lihat awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu
Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus kujalani

Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut

Lihatlah awan di sana
Berarak mengikutiku
Pasti dia pun tahu
Ingin aku lewati
Lembah hidup yang tak indah
Namun harus kujalani

Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut

Berdua denganmu
Pasti lebih baik
Aku yakin itu
Bila sendiri
Hati bagai langit
Berselimut kabut
(Acha Septriasa-Berdua Lebih Baik).

Wajah Bunda Manda merah padam. Pertama, Ayah Calvin selalu tahu isi kepalanya. Kedua, lagu itu representatif dengan keadaan mereka sekarang ini. Ketiga, Ayah Calvin meliriknya sejak tadi.

"Kuharap pesonaku belum memudar. Kau takkan berpaling pada jewelry sibling, kan?" bisiknya, tersenyum maut pada sang istri.

Waktunya memblender bumbu untuk masakan berikutnya. Bunda Manda sedikit terselamatkan dengan bisingnya raungan blender. Meski begitu, samar dapat dia dengar Ayah Calvin bersuara.

"Manda, aku mencintaimu."

"Apa?" teriak Bunda Manda, pura-pura tak mendengar.

"Aku mencintaimu."

Gerungan blender mengeras. Mengerjai Ayah Calvin boleh juga.

"Apa? Aku tidak dengar. Bicaralah yang jelas, Calvin."

"Amanda Zita Tedjokusumo, aku mencintaimu!"

Suara bass itu naik beberapa oktaf menjadi teriakan. Bunda Manda terperangah. Ini di luar kebiasaan Ayah Calvin. Ia nyaris tak pernah berbicara keras.

Bak! Buk! Bak! Buk!

Bunyi aneh apa itu? Datangnya dari kamar Silvi. Lupakan sejenak orderan katering. Persetan dengan daging panggang. Tergesa Bunda Manda dan Ayah Calvin berlari ke arah kamar putri mereka.

Dada Ayah Calvin bagai ditimpa batu bata. Buku-buku jari Bunda Manda memutih. Persis di depan mata mereka, Silvi tengah membentur-benturkan kepala ke pintu lemari. Semakin keras benturannya. Paras cantiknya menyisakan kesedihan.

"Ayah tinggal-tinggal aku! Ayah tinggal-tinggal aku!"

Silvi menjerit sembari menghantamkan kepalanya. Hati Bunda Manda teriris. Sakit mendapati putrinya melukai diri.

Sejurus kemudian, Ayah Calvin berlutut di samping Silvi. Menguncirkan rambut gadis itu. Memeluknya kuat-kuat hingga gadis kecil itu tak dapat bergerak. Silvi urung membenturkan kepala lagi. Tak mau merusak kunciran Ayahnya.

"Sayangku, Ayah di sini. Ayah nggak tinggal-tinggal kamu." Lembut Ayah Calvin berucap.

"Tapi, Ayah nggak ada waktu Silvi bangun!"

"Ayah bantu Bunda, Sayang. Kasihan kan, kalau Bunda masak sendirian?"

Kepala Silvi terkulai di lengan sang ayah. Bunda Manda terpagut tanya. Bukankah Silvi belum bisa menerima Ayah Calvin sepenuh hati? Mengapa kini...?

"Silvi mau sama Ayah selamanya." Rajuk Silvi.

Ciuman hangat Ayah Calvin mendarat di dahi Silvi. Terlihat pria yang lahir di hari kesembilan bulan Desember itu menempelkan keningnya dengan kening Silvi.

"Iya. Ayah sayang Silvi. Selamanya akan begitu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun