"Kenapa kamu tidak pernah makan di cafetaria seperti teman-temanmu?" tanya Calvin mengalihkan pembicaraan.
Silvi mengerjap. Heran mengapa Calvin sedetail itu memperhatikannya.
"Tak ada yang mengajakku. Aku juga punya trauma. Pernah aku memesan makanan di cafetaria. Aku malah memecahkan piring. Sejak saat itu, aku tak mau makan di sana lagi." Ungkap Silvi sedih.
Calvin membelai sayang rambut Silvi. Janji terpatri dalam hati. Takkan dia biarkan muridnya ini memikul masalahnya sendirian.
"Mulai hari Selasa, aku akan membuatkanmu bekal makan siang."
Kepala Silvi tertoleh ke samping. Sekarang Senin, dan besok adalah Selasa. Sengaja Calvin menyebut nama hari alih-alih menggantinya dengan kata besok. Sebagai penderita diskalkulia, Silvi tak begitu memahami orientasi waktu seperti kemarin, besok, dan semacamnya.
"T-tidak usah..."
"Aku akan membuatkanmu bekal makan siang dan sebagai balasannya, kamu mau belajar privat denganku. Deal?"
Belajar privat dengan Calvin? Tak mungkin Silvi menolak. Tiga bulan membersamainya di kelas, Silvi menyukai metode pengajaran Calvin yang serius tapi santai dan penuh kejutan. Calvin guru idola sejuta umat di sekolah ini. Dia longgar memberi dispensasi pada anak-anak yang punya kegiatan ekstrakurikuler. Tiap kali muridnya mendapat nilai tertinggi dan bisa menjawab pertanyaan, si murid pasti pulang membawa coklat atau buku baru. Pernah Calvin mentraktir seisi kelas dengan makanan yang dijual anak OSIS untuk dana usaha.
** Â Â
Near, far, wherever you are