Bel istirahat seperti angin surga. Para siswa sekolah internasional itu menghela nafas lega. Menyingkirkan buku Biologi. Sejenak melupakan materi tentang eukariotik dan prokariotik. Silvi? Memahami materi saja tidak bisa. Apa yang perlu ia lupakan?
"Silvi, aku mau cerita."
Sesosok gadis berkulit gelap, berambut pendek, dan berkacamata mengenyakkan diri di bangku kosong tepat di samping Silvi. Gadis cantik berambut panjang itu tak punya teman sebangku. Kursi di sebelahnya hanya akan terisi bila ada temannya yang curhat.
"Cerita aja. Aku dengerin," balas Silvi, tersenyum manis.
Sabila mulai nyerocos. Menceritakan kedekatannya dengan pencari suaka asal Afghanistan. Silvi mendengarkan dengan anggun, tak sedikit pun menyela. Ekspresi wajahnya dibuat setertarik mungkin dengan kisah Sabila.
"...Dan begitu proyek film dokumenternya selesai, aku akan mengajaknya short trip ke Malang. Niatnya sih, kami mau mengunjungi kota dimana tak ada orang-orang yang kenal kami. Wah, pasti menyenangkan sekali liburanku nanti. Aku bisa traveling sama Ali."
"Wow, Sabila. Aku ikut senang. Pasti kamu dan Ali menikmatinya. Enaknya jadi kamu, Sabila. Cantik, pintar, dan dekat dengan pria tampan. Mungkin dia jodohmu." Desah Silvi.
"Iya dong. Sudah lama aku menunggu momen ini. Dia, kan, awalnya nggak berani menembus aturan imigrasi yang ketat itu. Tahulah gerak-gerik pencari suaka dibatasi. Kalau saja Indonesia mau menandatangani konvensi..."
Celotehan Sabila tentang konvensi internasional negara ketiga hanya berputar-putar di kepala Silvi. Sikap manis menuntutnya untuk mengangguk dan berpura-pura tertarik. Begitu Sabila beres dengan curhatannya, ia pamit.
"Silvi, makasih ya udah dengerin aku. Kamu udah aku anggap kayak adik." Kata Sabila manis.
Selepas kepergian Sabila, Silvi berlari meninggalkan kelas. Tak sengaja dia menabrak seorang pria tinggi bermata sipit yang berdiri menantinya di mulut pintu. Silvi berlari ke rooftop sekolah. Tempat paling sepi sekaligus tempat favoritnya.