Opus 2
Jam Dinding Tertawa
-Fragmen si kembar
Dinding putih mengejeknya. Gelas minum tersenyum meremehkan. Meja, sofa biru laut, dan kisi-kisi jendela menertawakan pria tampan bermata sipit yang terkapar di ranjang. Selang oksigen menempel di hidungnya. Si pria berpiyama rumah sakit ingin sekali melepaskan benda kehijauan itu.
Pria lain, yang memakai jas hitam rapi, menarik bangku ke dekat tempat tidur. Ditatapnya saudara kembarnya penuh keprihatinan. Calvin benci tatapan Adica.
"Aku...tak suka...dikasihani." Calvin berkata lambat-lambat, seolah tengah berbicara dengan anak down syndrome.
"Ya. Aku tahu. Aku tidak mengasihanimu, hanya menyesali kebandelanmu."
Mata Calvin berkilat. Siapa yang bandel? Siapa yang akan menolong Silvi di hari pertama penebalan endomitriumnya?
"Harusnya tadi pagi kamu memanggilku," sesal Adica.
Calvin tersenyum sinis. "Silvi berteriak-teriak memanggilmu, tapi kamu lebih mementingkan salindia presentasi."
Adica tercenung. Sorot mata Calvin seakan menyalahkan. Benarkah dia telah seegois itu?
"Setelah meeting, apa lagi? Jatuh cinta? Mencari istri? Ingat aturan main kita ya."
"Aku ingat. Jika kita ingin menikah, istri kita harus bersedia menjadi ibu untuk Silvi."
"Tepat. Dan sepertinya, kamu yang akan menikah. Aku sudah berkomitmen 95%..."
"Kalkulator Tuhan lebih canggih ketimbang perhitunganmu."
Pintu ruang rawat bergeser membuka. Seorang pria berjas putih dengan logo rumah sakit tersulam di dada berjalan masuk.
"Halo Calvin," sapanya.
Calvin terbatuk-batuk. Tulang punggungnya serasa ditarik. Kenapa punggungnya amat sakit tiap kali batuk?
"Dia kelelahan. Sok kuat dengan menggendong anaknya. Jadi begini..." lapor Adica.
Sang Onkologis manggut-manggut. Dia mulai memeriksa Calvin. Adica berdiri cemas di sisinya.
"Ya, kondisi saudara kembarmu drop. Calvin, jangan capek-capek ya. Kasihan tubuhmu."
"Dokter Tian, saya masih kuat."
Dokter Tian tersenyum. "Kamu pasien saya yang paling kuat. Tapi, jangan pernah meremehkan NSCLC."
Mendengar akronimnya saja sudah membuat bulu-bulu halus di tengkuk Adica berdiri. Saudara kembarnya sakit parah. Entah apa jadinya bila nyawa Calvin terenggut non-small cell lung cancer.
Masih segar dalam ingatan Adica. Betapa pucat wajah Calvin, betapa berantakan rambutnya yang biasa tertata rapi, dan betapa kusut jasnya sepulang ia dari rumah sakit setahun lalu. Calvin melempar amplop berisi hasil tes dan membisikkan beberapa kata: kanker paru-paru. Waktu itu, Adica berhenti berkutat dengan aplikasi pemantau sahamnya.
"Calvin, kamu bercanda! Kanker paru-paru? Penyakit laknat yang mematikan 1,59 juta orang di dunia selama tahun 2012! Calvin, tampar pipiku!"
Plak!
Adica terjajar mundur, kakinya menabrak sofa. Tamparan Calvin begitu kuat. Orang yang mengenal Calvin takkan percaya ia tega menampar orang sekeras itu.
"Aaaargh sakit, bodoh! Tapi, ini nyata! Ini bukan mimpi!" Adica meraung putus asa.
"Adica, tolong ambilkan iPadku."
Suara bass nan empuk milik Calvin membangunkan lamunannya. Adica tergeragap, buru-buru meraih iPad.
** Â Â
-Fragmen Silvi
Resah, kulirik jam tanganku. Kucocokkan dengan jadwal shalat di iPhoneku. Zuhur telah tiba. Namun, jangan harap dapat mendengar azan di sekolah Katolik ini.
Hmmm, waktu Zuhur makin maju saja. Pukul 11.40 sudah masuk waktunya. Beberapa minggu lalu, aku masih bisa ikut pelajaran sampai pukul 12.00. Lalu masih bisa ikut makan siang lima belas menit setelahnya. Sekarang...?
Aku membereskan tas Catharina melihat gelagatku. Dia menatapku bingung.
"Ngapain? Suster Mariana kan masih ngajar," bisiknya.
"Shalat. Aku izin ya."
Kusandangkan tas ke bahuku. Aku bangkit, lalu menghampiri Suster Mariana. Guru Biologi itu mengizinkanku. Aku bernapas lega sambil mengayun langkah keluar kelas.
Tiba di koridor, aku bingung mau shalat dimana. Penyakit lamaku tak berubah tiap hari. Bisa saja aku memakai ruang kelas kosong, ruang doa, kapel, atau ruang musik. Namun, tidak enak juga kalau tiap hari terus meminjam ruangan-ruangan itu untuk shalat.
"Silvi, mau kemana?"
Jantungku mau copot. Ya, Allah, aku mau pingsan! Frater berperut six pac, berwajah setampan Christian Sugiono, dan berjubah putih itu berdiri di depanku!
"Ma...mau shalat." gagapku.
"Oh gitu. Shalat di ruang guru aja. Ruangannya kosong kok. Ayo, saya antar."
Andai aku bisa terbang. Ingin kurentangkan sayap-sayapku saat itu juga. Frater Gabriel baik sekali. Kuikuti langkah kakinya.
Dalam hati aku berharap agar ruang guru sejauh Jakarta-Madinah. Agar aku bisa berjam-jam bersama Frater Gabriel. Waktu, kenapa berlari secepat ini?
Kami tiba di ruang guru. Frater Gabriel mengambil kunci dari saku bajunya. Pintu kayu berpernis mengilat itu berderit membuka. Aku meletakkan tasku di sudut ruangan. Kukeluarkan selembar hijab putih. Aku tak pernah terbiasa shalat dengan mukena. Kalau sedang di sekolah, aku cukup shalat mengenakan rok seragam yang cukup panjang, blazer yang juga berlengan panjang, dan hijab putih bersih.
"Silakan shalat. Itu kamar mandinya, kamu bisa wudhu di situ. Arah kiblat tepat menghadap jam dinding hitam."
Penjelasan Frater Gabriel membuncahkan kekagumanku. Hebatnya, dia tahu banyak tentang ibadah umat Muslim. Dia bahkan tahu tentang wudhu dan arah kiblat. Tak semua kenalanku yang non-Muslim sepaham itu.
"Iya, Frater. Terima kasih."
"Sama-sama. Saya tinggal dulu ya."
Senyumnya itu...tatapan teduhnya...ah, aku terhipnotis. Tubuhku mau melayang rasanya.
Aku bergegas mengambil wudhu. Kuhamparkan sajadah di lantai. Tubuh rampingku menghadap jam dinding besar berwarna hitam.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, kurasakan cairan hangat mengalir dari selangkanganku. Apakah aku mengeluarkan urine? Lalu, benda besar apa yang menumpuk di sana?
Oh tidak, aku lupa! Mulai hari ini, aku diberi jatah istirahat oleh Allah untuk tidak shalat. Bodoh sekali aku. Pantas saja tadi Catharina menatapku heran. Baru tadi pagi kuceritakan padanya kalau aku mendapat haid pertama.
Malu, malu, malu! Jam dinding tertawa. Ia menertawakanku. Papa, Ayah, help me!
Kulipat kembali sajadahku. Kulepas hijab putih. Rambut panjangku berkibar bebas, menyentuh lembut punggungku. Aku berjalan gontai meninggalkan ruangan.
"Lho, udah selesai shalatnya? Cepet banget." tukas Frater Gabriel heran. Ternyata dia menungguiku di depan ruang guru.
"Maaf, Frater. Saya lupa Hari ini saya berhalangan..." balasku dengan wajah merah padam.
Kulihat Frater Gabriel tersenyum simpul. Apakah dia ingin menertawakanku? Tidak, Frater baik hati itu tidak akan tertawa.
"Wajar. Otak kita kan milik Tuhan. Lupa dan ingat di luar kontrol kita."
Hatiku sedikit tenang. Aku pamit padanya, lalu berjalan ke cafetaria sekolah.
Di sana, Catharina telah menanti. Semangkuk mie ayam mengepul di hadapannya. Perutku lapar. Kupesan semangkuk bakso, tiga potong pisang goreng keju, lima potong risoles, dan empat potong kroket. Hari ini aku dan Catharina janjian untuk tidak makan dari katering sekolah.
"Buset, kamu laper apa kesurupan?" kritik Catharina melihat pesananku.
"Biarin. Aku stress. Jadinya, mau makan banyak." dalihku.
Catharina mendongak, menyeruput jus mangganya. "Stress kenapa? Tadi kan udah shalat."
"Shalat apaan? Aku lupa kalo lagi mens."
Tawa Catharina meledak. Aku makan dengan barbar. Sambil makan, kuingat pertemuanku dengan Frater Gabriel. Momen manis yang sangat langka. Hatiku bernyanyi riang.
Lihat, lihatlah aku
Dekat, dekati aku
Peluk, peluklah aku
Cium, ciumlah aku oh kasih
Teman, temani aku
Yakin, yakin padaku
Sayang, sayangi aku
Bawa, bawalah aku
Bersamamu
Apakah kau merasakannya
Getaran cinta
Beri, beri pertanda
Pertanda cinta
Teman, temani aku
Yakin, yakin padaku
Sayang, sayangi aku
Bawa, bawalah aku
Bersamamu
Apakah kau merasakannya
Getaran cinta
Beri, beri pertanda
Pertanda cinta
Bersamamu
Apakah kau merasakannya
Getaran cinta
Beri, beri pertanda
Pertanda cinta
Bersamamu
Apakah kau merasakannya
Getaran cinta
Beri, beri pertanda
Pertanda cinta
Bersamamu
Apakah kau merasakannya
Getaran cinta
Beri, beri pertanda
Pertanda cinta
Pertanda cinta (Vierra-Pertanda Cinta).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H