Andai aku bisa terbang. Ingin kurentangkan sayap-sayapku saat itu juga. Frater Gabriel baik sekali. Kuikuti langkah kakinya.
Dalam hati aku berharap agar ruang guru sejauh Jakarta-Madinah. Agar aku bisa berjam-jam bersama Frater Gabriel. Waktu, kenapa berlari secepat ini?
Kami tiba di ruang guru. Frater Gabriel mengambil kunci dari saku bajunya. Pintu kayu berpernis mengilat itu berderit membuka. Aku meletakkan tasku di sudut ruangan. Kukeluarkan selembar hijab putih. Aku tak pernah terbiasa shalat dengan mukena. Kalau sedang di sekolah, aku cukup shalat mengenakan rok seragam yang cukup panjang, blazer yang juga berlengan panjang, dan hijab putih bersih.
"Silakan shalat. Itu kamar mandinya, kamu bisa wudhu di situ. Arah kiblat tepat menghadap jam dinding hitam."
Penjelasan Frater Gabriel membuncahkan kekagumanku. Hebatnya, dia tahu banyak tentang ibadah umat Muslim. Dia bahkan tahu tentang wudhu dan arah kiblat. Tak semua kenalanku yang non-Muslim sepaham itu.
"Iya, Frater. Terima kasih."
"Sama-sama. Saya tinggal dulu ya."
Senyumnya itu...tatapan teduhnya...ah, aku terhipnotis. Tubuhku mau melayang rasanya.
Aku bergegas mengambil wudhu. Kuhamparkan sajadah di lantai. Tubuh rampingku menghadap jam dinding besar berwarna hitam.
Sedetik. Tiga detik. Lima detik, kurasakan cairan hangat mengalir dari selangkanganku. Apakah aku mengeluarkan urine? Lalu, benda besar apa yang menumpuk di sana?
Oh tidak, aku lupa! Mulai hari ini, aku diberi jatah istirahat oleh Allah untuk tidak shalat. Bodoh sekali aku. Pantas saja tadi Catharina menatapku heran. Baru tadi pagi kuceritakan padanya kalau aku mendapat haid pertama.