Malu, malu, malu! Jam dinding tertawa. Ia menertawakanku. Papa, Ayah, help me!
Kulipat kembali sajadahku. Kulepas hijab putih. Rambut panjangku berkibar bebas, menyentuh lembut punggungku. Aku berjalan gontai meninggalkan ruangan.
"Lho, udah selesai shalatnya? Cepet banget." tukas Frater Gabriel heran. Ternyata dia menungguiku di depan ruang guru.
"Maaf, Frater. Saya lupa Hari ini saya berhalangan..." balasku dengan wajah merah padam.
Kulihat Frater Gabriel tersenyum simpul. Apakah dia ingin menertawakanku? Tidak, Frater baik hati itu tidak akan tertawa.
"Wajar. Otak kita kan milik Tuhan. Lupa dan ingat di luar kontrol kita."
Hatiku sedikit tenang. Aku pamit padanya, lalu berjalan ke cafetaria sekolah.
Di sana, Catharina telah menanti. Semangkuk mie ayam mengepul di hadapannya. Perutku lapar. Kupesan semangkuk bakso, tiga potong pisang goreng keju, lima potong risoles, dan empat potong kroket. Hari ini aku dan Catharina janjian untuk tidak makan dari katering sekolah.
"Buset, kamu laper apa kesurupan?" kritik Catharina melihat pesananku.
"Biarin. Aku stress. Jadinya, mau makan banyak." dalihku.
Catharina mendongak, menyeruput jus mangganya. "Stress kenapa? Tadi kan udah shalat."