Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] From Port Dickson With Love

10 November 2019   06:00 Diperbarui: 10 November 2019   06:04 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

From Port Dickson With Love

Port Dickson terletak di Negeri Sembilan. Surga di negeri Jiran ini menjadi tempat tujuan Jose membawa istri dan putrinya berlibur. Liburan pertama setelah setahun penuh kekelaman.


Desir hangat merayapi hati Alea saat pertama kali menjejakkan kaki di Port Dickson. Ini lokasi honeymoonnya dengan Jose. Kalau soal honeymoon, katakanlah Jose telah berkali-kali membawa Alea pergi berdua ke berbagai negara. Namun, Port Dickson meninggalkan kesan mendalam sebab itulah lokasi honeymoon mereka yang pertama. Di surga tepi laut ini, tertinggal banyak jejak kenangan.

Walau tak jadi ke Macao, Arini senang sekali. Dia bisa merasakan liburan berkonsep pantai yang menyenangkan. Gadis kecil nan cantik itu dapat berenang sepuasnya di Lexis Hibiscus, resort tempat mereka menginap.

"Kenapa pilih Lexis Hibiscus, Sayang?" tanya Alea di malam kedua liburan mereka.

"Kamu tahu, Alea? Lexis Hibiscus masuk record Guinness World tahun 2016 dengan kategori kolam renang terbanyak di dalam resort dan villa terbanyak di atas air." jawab Jose.

Mata Alea membesar tak percaya. "Memangnya ada berapa kolam renang di sini?"

"Coba hitung saja sendiri. Sampai rambutmu panjang lagi, mungkin baru ketemu hasilnya."

Alea dan Arini tertawa. Sebuah kemajuan besar. Jose bercanda bersama mereka, melontarkan kata-kata positif dan lucu. Semuanya perlahan berubah sejak Jose bisa berdiri lagi. Terima kasih tak terkira pada malaikat pemberi kaki palsu.

"Ah, Jose. Beri tahu kami...ada berapa kolam renangnya." desak Alea.

"Ok, ok. Kolam renangnya ada 643 buah."

"Wow!" Arini dan Alea kompak berseru takjub.

"Kalau villanya ada berapa, Ayah?"

"Jumlahnya 522, Sayang."

Banyak sekali, pikir Arini. Ayahnya memang tidak salah pilih.

"Ok. Time to rest." Jose mengingatkan. Menuntun Arini ke dalam kamar.

Di dalam kamar, terdapat kolam renang kecil dan ruang steam. Kamar mereka menghadap pantai. Jose memakaikan piyama pada Arini. Alea membacakan buku untuknya. Tiap malam, keduanya bergantian melakukan tugas itu. Tak lama, Jose dan Alea berbaring di kanan-kiri Arini.

"Tuhan baik banget ya. Kasih kesempatan lagi buat Arini, Ayah, dan Bunda." gumam Arini penuh syukur.

Ya, Tuhan sangat baik. Tuhan Maha Cinta dan Maha Asyik. Buktinya, Ia beri kesempatan Jose, Alea, dan Arini liburan lagi.

"Ah, coba ada Daddy juga ya..." desah Arini penuh harap.

"Next time kita liburan bareng Daddy ya." Alea berkata meyakinkan. Membuat Jose melirik cepat ke arahnya.

Arini tertidur setengah jam kemudian. Mata Alea mulai berat. Namun, ia batal memejamkannya karena melihat Jose keluar kamar.

"Hei, where are you going?"

Pertanyaannya tak terjawab. Alea menghela napas, berharap suaminya tidak berbuat aneh-aneh.

Lama Jose menghilang. Kini Alea tak ingin tidur. Ia khawatir, khawatir terjadi sesuatu pada suaminya.

Tiba-tiba...

Lampu mati. Alea bersyukur karena Arini tidak terbangun. Seleret cahaya jatuh menimpa kumpulan bunga anggrek di depan pintu kamar.

"Alea, ikuti anggrek ini."

Sesaat Alea merasa aneh membaca tulisan itu. Mungkinkah ini ulah Jose? Apakah pendamping hidupnya itu mengajaknya pacaran lagi setelah menikah? Ada-ada saja.

Perlahan Alea bangun dari ranjang. Dilangkahkannya kaki mengikuti lajur bunga anggrek Cattleya. Bunga-bunga itu membawanya hingga ke luar kamar.

Kaki Alea terus melangkah. Dimanakah lajur-lajur anggrek Cattleya ini berakhir? Ternyata lajur bunga berakhir di gedung utama. Jauh sekali. Berapa banyak Cattleya yang disiapkan Jose untuk memberi kejutan padanya?

Sesosok pria tinggi, berhidung mancung, dan bermata sipit berdiri tegak menantinya. Kaki prostetik di tubuhnya tak menciptakan kesan aneh. Alea mengerjapkan mata. Tersadar kalau suaminya masih memiliki sisa-sisa ketampanan.

Jose memainkan piano digitalnya. Tepat ketika Alea sampai di hadapannya, ia bernyanyi.

Masihkah kau ragu

'Tuk ungkapkan semua isi hati?

Tidakkah kau lihat

Betapa tersirat cinta ini?

Coba dengarkan isi hatimu

Bila kau cinta

Katakan, katakan

Katakanlah

Bila kau rindu

Kau rindu, kau rindu

Tunjukkanlah

Jangan kau ragu

Jangan kau tahan

Katakan saja

Mulai kali ini

Saatnya kau jujur kepadaku

Tak ingin kularut

Di sepanjang penantian ini

Coba tunjukkan isi hatimu

Bila kau cinta

Katakan, katakan

Katakanlah

Bila kau rindu

Kau rindu, kau rindu

Tunjukkanlah

Jangan kau ragu

Jangan kau tahan

Katakan saja

Bila kau cinta

Katakan, katakan

Katakanlah

Bila kau rindu

Kau rindu, kau rindu

Tunjukkanlah

Jangan kau ragu

Jangan kau tahan

Katakan saja

Ho-o-o-oh ...

Bila kau cinta

Katakan, katakan

Katakanlah

Bila kau rindu

Kau rindu, kau rindu

Tunjukkanlah

Jangan kau ragu

Jangan kau tahan

Katakan saja

Bila kau cinta

Katakan, katakan

Katakanlah

Bila kau rindu

Kau rindu, kau rindu

Tunjukkanlah

Jangan kau ragu

Jangan kau tahan

Katakan saja

Katakan saja (Jaz-Katakan).

Seluruh partikel dalam darahnya berdesir hebat. Wajah Alea merona merah, membuat parasnya yang cantik semakin indah. Jose bernyanyi untuknya, memberikan taburan bunga anggrek untuknya. Romantis sekali. Sudahkah Jose kembali seperti dulu? Josenya yang mengawali debut cinta dengan menjadi secret admirer.

"Lagunya narsis ya..." komentar Alea, tersenyum simpul.

"Tapi suka, kan?" Jose tersenyum, mencubit hidung istrinya.

"Suka kok. Kamu mau ajak aku pacaran lagi."

"Why not? Pacaran setelah nikah kan nggak apa-apa."

Setelah berkata begitu, Jose menarik tangan Alea. Mereka berlari ke pantai. Berkejaran, saling mencipratkan air laut, dan bermain pasir. Jose menggendong Alea ala bridal style. Lupakan kalau malam telah larut. Lupakan kalau mereka sudah berstatus ayah dan bunda. Sebentar, sebentar saja, dunia boleh milik berdua.

Kelelahan, mereka menjatuhkan diri di hamparan pasir. Pasir ini teramat halus dan lembut. Jose mengajari Alea membuat istana pasir. Berkali-kali tangan mereka saling sentuh. Getaran halus merasuki relung jiwa Alea setiap kali tangannya bersentuhan dengan tangan Jose.

"My husband is back..." bisiknya.

"Terima kasih, Jose Sayang. Kamu mau kembali untukku dan Arini."

"Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah pada Calvin, malaikat pemberi kaki palsu ini."

Bukan hanya cahaya hidupnya yang kembali. Jose pun kembali mendamaikan hatinya. Dia telah berdamai dengan hati, perasaan, dan sepupu terbaiknya.

**   

"Sivia...kenapa, Sayang? Kenapa menangis?"

Terburu-buru Calvin memasuki kamar utama. Dipeluknya wanita cantik bergaun tidur soft pink itu.

"Kamu tinggal-tinggal aku..." Sivia mengadu, membenamkan kepala ke dada Calvin. Menghirup dalam-dalam wangi blue seduction Antonio Banderas.

"Aku baru selesai menulis artikel. Hidup itu harus seimbang, Princess. Ada me time, ada we time, ada kerja...ya, Sayangku?"

Dengan cemas, Calvin memperhatikan kuku Sivia yang mulai memanjang. Itu bisa memudahkannya melukai diri. Didudukkannya Sivia ke ranjang. Ia memotongkan kuku wanita itu tanpa banyak bicara.

Selesai memotongkan kuku, Calvin membalurkan body lotion ke tangan dan kaki Sivia. Semua itu ia lakukan dengan penuh kasih sayang. Tiap malam, sepanjang tahun, dilakukannya tanpa mengeluh.

"Calvin..."

"Iya, Sivia?"

"Aku kesal sama kamu. Kamu beli kaki palsu buat Jose tanpa bilang aku. Uang tiga juta buat beli kaki palsu, mendingan buat suntikan dana ke stasiun TV yang lagi kolaps. Memangnya Jose masih kurang kaya buat beli kaki palsu sendiri?"

Omelan bernada menyalahkan meluncur dari bibir Sivia. Alih-alih balas mengomel, Calvin mengelus rambut panjang istrinya.

"Menolong tidak boleh membedakan status sosial, Sivia. Lagi pula, uang tiga juta takkan banyak berarti untuk TV itu. Dia butuh dana puluhan Milyar. Sejak awal, aku membuat media idealis bukan untuk profit. So, tidak apa-apa kalau harus tutup. Nothing to loose."

"Ya tetap saja...kamu kan sudah mendirikannya susah payah. Masa mau berakhir begitu saja?"

Belaian Calvin semakin lembut. "Kalau televisi itu ditakdirkan tetap jalan, takkan ada yang bisa menghancurkannya."

Sivia membuka mulutnya ingin membantah lagi. Akan tetapi, dia batal membantah karena Calvin mendaratkan ciuman hangat di keningnya.

Tapi...

Ciuman ini tak biasa. Sivia menyentuh dahi. Cairan merah pekat menempel di tangannya. Pada saat bersamaan, Calvin menjauhkan tubuh dari Sivia.

"Uhuk..." Calvin terbatuk.

Lagi-lagi Sivia ditinggal sendiri. Calvin meninggalkannya untuk muntah dan membersihkan darahnya. Sivia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit dengan masygul.

Dering handphone menyadarkan Sivia. Bukan iPhonenya, tetapi iPhone Calvin. Ragu-ragu Sivia meliriknya. Takut Calvin akan marah. Handphone adalah sesuatu yang sangat private. Terlebih bagi pria tertutup dan penyendiri seperti suami Sivia.

Dari kejauhan pun, Sivia tahu kalau nomor yang menghubungi suaminya bukanlah nomor Indonesia. Kodenya +39. Setahu Sivia, itu kode nomor handphone Italia. Apakah ini telepon penting?

"Calvin, ada telepon. Kode Italia." lapor Sivia begitu suaminya kembali.

Belum sempat Calvin merespon, penelepon dari Italia itu menghubungi lagi. Calvin menjawabnya. Sivia menatap lekat, memperhatikan. Sepersekian menit berbicara di telepon, senyum merekah di wajah tampan malaikatnya.

"Alhamdulillah, thanks God..." Calvin menggumamkan syukur selesai menerima telepon.

"Ada apa?"

"Sivia, televisi kita akan mendapat suntikan dana dari televisi Italia!"

Kebahagiaan pecah di kamar utama. Malaikat bertaburan, memberi selamat. Mengucap syukur. Melantunkan doa-doa penuh kesyukuran ke pintu langit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun