Tanpa kata lagi, Adica menarik tangan Rossie ke dapur. Rupanya ia membeli peralatan masak baru. Wajan, panci, kompor listrik, talenan, pisau, blender, mixer, kitchen set, juicer, dan microwave, semuanya baru. Mata Rossie berbinar antusias. Semua peralatan masak yang dibeli Adica jauh lebih bagus.
"Ini semua kamu yang beliin?" bisiknya tak percaya.
"Iya. Biar istriku masak lagi. Kalau perlu, nanti kita panggil Muttiara buat ajarin kita. Dia kan udah tinggal di sini."
Rossie tertawa riang. "Good idea! Aku mau belajar masak private sama adikku! Kamu ikutan juga ya?"
Adica mengangguk mantap. Sejurus kemudian, Rossie melesat ke lemari es. Diambilnya daging, kentang, wortel, dan beberapa bahan makanan lainnya. Saat ditanya mau bikin apa, Rossie tersenyum misterius.
"Aku bantu ya." tawar Adica.
"Nggak usah. Kamu duduk aja. Tugas kamu adalah cicipin hasil masakan aku."
Pagi ini Rossie tak mau dibantah. Demi menjaga semangat istrinya, Adica menurut. Dia beranjak ke ruang santai.
Chanel TV dipindah-pindahnya dengan gelisah. Dia berdoa dalam hati agar bisa memakan apa pun hasil masakan Rossie. Hanya Tuhan dan Adica yang tahu, kalau sebenarnya hanya Rossielah yang payah dalam urusan memasak. Makanan buatan Adica jauh lebih enak. Hanya saja, selama ini ia berpura-pura tidak bisa memasak demi menyelamatkan muka Rossie.
Tak ada gading yang tak retak. Pepatah itu cukup representatif untuk Rossie dan Chef Mutiara. Tangan Chef Mutiara mahir mengolah semua jenis makanan, mulai dari appetizer sampai dessert. Sedangkan tangan Rossie? Memasak nasi goreng saja terlalu asin.
"Yipeeee...selesai! Nih kamu cobain."