Tak butuh waktu lama bagi Calvin untuk menangkap gadis penarik rambut ke dalam pelukannya. Si gadis menjerit, tetapi tak menolak rengkuhan Calvin.
"Kamu masih mau jadi Princess nggak?" tanya Calvin serius.
"Mau," jawab gadis berambut panjang dan bermata biru itu manja.
"Menarik rambut orang lain bukan perilaku seorang Princess, Silvi."
Silvi mengerang-erang sedih di pelukan Calvin. Sementara si pebisnis tampan membelai rambut serta mencium keningnya, Silvi menyentuh wajah Calvin. Seraut wajah orientalis yang dikaguminya.
Calvin terbatuk. Punggungnya bertambah sakit. Sehelai sapu tangan bersulam dikeluarkan. Ia terbatuk lagi ke kain lembut itu, lalu menyeka hidungnya. Sesaat Silvi teringat adegan pertemuan Arthur Radley dengan Scout Finch di bab terakhir To Kill A Mockingbird.
"Ayah...darah." tunjuk Silvi ketakutan.
Bagaimana tidak ketakutan? Cairan merah pekat yang mengalir dari hidung lelakinya bukanlah ingus, tetapi darah.
"Jangan...jangan..." rintih Silvi.
"Jangan pergi...jangan. Aku cinta kamu sebagai ayah, pendamping, dan guruku."
Rupanya Silvi lupa. Lupa kalau orang yang berperan penting dalam hidupnya tak suka dikhawatirkan. Demi mendengar Silvi histeris, Calvin mendekapnya semakin erat dan bernyanyi lembut.