-Calvin & Silvi
Pria berjas hitam itu bangkit berdiri. Seluruh tubuhnya pegal. Inilah efek tidur semalaman di ranjang rumah sakit. Sesosok wanita tua namun tetap cantik, terbaring di ranjang sebelah.
"Kamu mau kemana?" tanya si wanita.
"Ada seseorang yang harus aku temui, Ma."
"Pasti gadis itu lagi..." desah wanita itu, menatap langit-langit putih dengan kedua matanya yang telah sehat kembali.
"Mama bisa kutinggal sebentar, kan? Toh hari ini Mama sudah bisa pulang. Biar kuminta supir mengantar Mama."
"Calvin, Mama ingin kamu menemani Mama di sini. Cuma kamu yang Mama punya. Pada siapa lagi Mama bersandar selain padamu?"
Calvin mendesah. Dibelainya rambut putih wanita sosialita itu.
"Ma, selamanya Hellena Roselina akan jadi Mamaku. Tapi, aku ini hanya satu. Aku harus dibagi-bagi. Mama mengerti, kan?" jelas Calvin lembut, amat lembut.
Nyonya Rose tergugu. Menutup wajahnya dengan bantal. Namun, ia turunkan kembali bantal putih itu saat Calvin mencium keningnya.
Lima menit berselang, Calvin berjalan cepat meninggalkan rumah sakit. Langkahnya surut di depan gerbang sekolah luar biasa. Mata sipitnya menangkap kelebatan rambut panjang milik seorang gadis. Nampak gadis itu menggeram marah, lalu menarik kunciran rambut temannya. Teman si gadis menjerit kesakitan. Helai-helai rambut terlepas dari ikatannya.
Tak butuh waktu lama bagi Calvin untuk menangkap gadis penarik rambut ke dalam pelukannya. Si gadis menjerit, tetapi tak menolak rengkuhan Calvin.
"Kamu masih mau jadi Princess nggak?" tanya Calvin serius.
"Mau," jawab gadis berambut panjang dan bermata biru itu manja.
"Menarik rambut orang lain bukan perilaku seorang Princess, Silvi."
Silvi mengerang-erang sedih di pelukan Calvin. Sementara si pebisnis tampan membelai rambut serta mencium keningnya, Silvi menyentuh wajah Calvin. Seraut wajah orientalis yang dikaguminya.
Calvin terbatuk. Punggungnya bertambah sakit. Sehelai sapu tangan bersulam dikeluarkan. Ia terbatuk lagi ke kain lembut itu, lalu menyeka hidungnya. Sesaat Silvi teringat adegan pertemuan Arthur Radley dengan Scout Finch di bab terakhir To Kill A Mockingbird.
"Ayah...darah." tunjuk Silvi ketakutan.
Bagaimana tidak ketakutan? Cairan merah pekat yang mengalir dari hidung lelakinya bukanlah ingus, tetapi darah.
"Jangan...jangan..." rintih Silvi.
"Jangan pergi...jangan. Aku cinta kamu sebagai ayah, pendamping, dan guruku."
Rupanya Silvi lupa. Lupa kalau orang yang berperan penting dalam hidupnya tak suka dikhawatirkan. Demi mendengar Silvi histeris, Calvin mendekapnya semakin erat dan bernyanyi lembut.
Lembut tutur katamu
Mencairkan keluhanku
Dari semua pelik kurasa di dunia
Anggun setiap gerakmu
Melagukan keindahan
Senyumanmu membuat pesona
Yang tak terlupakan
Darimu telah kutemukan bahagia
Karenamu hidupku lebih berwarna
Engkau wanita engkau anugerah
Darimu kutemukan arti cinta
Karenamu tangisku menjadi tawa
Engkau wanita engkau anugerah (Espresso-Wanita).
** Â Â
-Jose & Rachel
"Rachel, lihat. Aku bawa apa buat kamu?"
Jose berlari-lari menghampiri Rachel. Begitu bersemangatnya, sampai ia lupa kalau Rachel tak bisa mendengar. Gadis bergaun merah cerah itu mengangkat wajah, tersenyum melihat pemuda bermata sipit itu mendekat.
Larinya melambat. Saat berhenti di depan Rachel, Jose menepuk dahi. Cepat dikeluarkannya clipboard dari paperbag yang dibawanya.
"Aku punya sesuatu untukmu." tulis Jose.
Rachel menggulung jari-jarinya, memasang ekspresi ingin tahu. Ia menunjuk Jose, menunjuk dirinya, lalu membuka telapak tangan. Beberapa jurus kemudian, Jose memperlihatkan sebentuk kalung cantik berhias mutiara. Mata Rachel membola.
"Pacarnya Jose Gabriel bisu tuli! Pacarnya Jose Gabriel bisu tuli!"
Sekelompok gadis dan pemuda berkoar-koar saat melewati taman. Mereka mengejek Rachel. Mereka menyebut Jose payah karena memilih gadis spesial berkebutuhan khusus.
"Hei, dengar!" teriak Jose ke arah para pembully Rachel.
"Kekasihku seratus kali lipat lebih berharga dari kalian semua!"
** Â Â
-Revan & Shilla
Perasaan waswas menyergap hati pria bermata biru. Sosok hitam baru saja mendekapnya. Tentunya bukan monster. Ia hanyalah wanita bercadar dengan pakaian serba hitam yang menutup dari ujung kaki hingga ujung rambut.
Di pelataran bandara, rindu mereka terbayar lunas. Perlahan Revan melepas pelukan. Ia ngeri karena tak bisa menatap wanita yang diajaknya bicara.
"Shilla, ini hari terakhirmu bercadar, kan?" Revan memastikan.
Shilla mengangguk, lalu mengiyakan untuk memperjelas.
"Bagus. Dan mulai besok, berhenti mendatangi pengajian-pengajian itu. Aku akan mendatangkan ulama pluralis ternama untuk mengajarimu."
Angin sore berdesis nakal. Deru angin membuat cadar Shilla terlepas. Kain hitam itu melayang jatuh. Tersingkaplah wajah putih, teduh, dan bercahaya. Kepanikan Shilla ditingkahi senyum puas Revan.
"Itu dari Allah, Istriku Sayang. Tanda bahwa kamu harus melepaskan cadarmu."
** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H