Senyum mereka, nada ceria mereka, bukan sesuatu yang mencurigakan. Gesture mereka begitu meyakinkan. Keraguan Revan lesap. Ia menyikat tiga menu itu sampai tandas.
"Yes! Yes! Kita berhasil!" Reinhard dan Rinjani bersorak kegirangan setelah Revan pergi.
"Mulai besok, dia nggak bakal minta sarapan di sini lagi!"
"Hmmm...memang merepotkan ya, berurusan sama tetangga ajaib kayak gitu."
Siangnya, mereka ditelepon Abi Assegaf. Revan pingsan saat mengajar. Ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Para tetangga segera menyusul ke sana. Sesaat Reinhard dan Rinjani bimbang. Haruskah mereka ikut menjenguk Revan?
Kebimbangan mereka bertambah besar saat grup Whatsapp penghuni kompleks menampilkan chat bertubi-tubi. Banyak tetangga yang menandai mereka, menyuruh keduanya cepat menyusul ke rumah sakit. Dengan berbagai pertimbangan, mereka pun bergegas menuju rumah sakit.
Betapa kagetnya mereka melihat Revan terbaring di ranjang putih dengan wajah pucat dan tangan terbalut selang infus. Setelah siuman, pria Minahasa-Portugis itu muntah-muntah. Keracunan makanan, begitu kata dokter.
"What? Keracunan?" Reinhard dan Rinjani pura-pura kaget.
Sepasang mata sipit menatap mereka nanar. Tak salah lagi, itu mata Calvin. Mestinya Reinhard dan Rinjani lebih hati-hati. Calvin mempunyai feeling yang kuat.
"Aku merasakan kepura-puraan di sini," ucap Calvin perlahan.
"Apa maksudmu?" tanya Jose.