Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Candle Light Dinner

31 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 31 Oktober 2019   07:14 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Candle Light Dinner

"Hmmmm...main handphone saja dibatasi. Ok, fine." kata Calvin, melempar pandang kecewa ke arah CCTV.

Jose tertawa tertahan. Dia sudah terbiasa dengan aturan itu. Jam aktif gawai pasien hanya berlaku sampai pukul sembilan malam. Berani melanggar, suster siap menegur. CCTV terpasang di kamar rawat. Tim medis dapat mengawasi pasien dengan mudah.

"Nggak apa-apa...sesekali nggak usah one day one article." hibur Sivia.

Calvin gelisah. Ia jarang sekali absen menulis artikel. Terlebih sejak punya website sendiri. Sebuah website yang khusus meng-update IHSG dari hari ke hari.

Dicobanya berpikir positif. Sivia benar. Anggap saja ini waktunya mencharge otak dan pikiran. Setelah keluar dari rumah sakit, ia bisa menulis lagi.

Berhari-hari dirawat di rumah sakit membuatnya bosan. Jose, Sivia, Alea, Adica, Rossie, Reinhard, Rinjani, Revan, Abi Assegaf, dan Ummi Adeline bergantian menjenguknya. Di antara mereka, hanya Jose, Alea, dan Sivia yang paling intens menemani. Malam ini Alea tidak bisa menemani di rumah sakit karena harus menjaga Arini.

Dalam hati Calvin salut pada Jose dan Alea. Mereka melupakan perseteruan demi menyesuaikan diri dengan situasi. Keduanya pun mampu berbagi tugas antara menunggui Calvin di rumah sakit dan mengurus Arini. Tak ada yang kekurangan perhatian. Tak ada yang merasa ditinggal sendirian.

Interkom rumah sakit berbunyi. Peringatan untuk penjenguk yang tidak memiliki kartu izin menginap di rumah sakit. Siapa pun yang tidak memiliki izin menginap di rumah sakit harus segera pergi. Pintu rumah sakit akan ditutup.

"Kalian sudah izin, kan?" tanya Calvin cemas.

Sivia dan Jose mengangguk. Calvin menghela napas berat. Menyentuh selang di tangan dan hidungnya dengan masygul.

"Sorry..." gumamnya meminta maaf.

"No need to sorry." Jose dan Sivia menyahuti nyaris bersamaan.

"Aku membuat kalian lelah. Begitu keluar dari rumah sakit, aku yang akan menemani kalian."

Tidak, Jose dan Sivia tidak butuh balasan. Melihat Calvin sehat kembali saja sudah cukup.

"Aku tidak banyak gunanya, Calvin. Lihat, aku duduk di kursi roda bodoh ini. Tapi setidaknya, aku ingin selalu menemanimu." ungkap Jose sedih.

Calvin mengangkat alisnya. "Nah...mulai lagi underestimate. Kehadiranmu sangat berguna, Jose."

Suami Alea itu mengangkat bahu. Dia memutar kursi rodanya, bersiap meninggalkan ruang VIP. Memberi kesempatan berdua saja untuk Calvin dan Sivia. Biarlah ia menunggu di koridor selama beberapa waktu.

Sivia menuangkan air mineral ke dalam gelas. Beberapa pil obat diletakkannya ke telapak tangan Calvin. Ritual yang paling dibenci pria itu: minum obat.

"Kita saling rawat ya, Sayang." Sivia berbisik tulus, sangat tulus.

Sesuatu yang lembut menyentuh hati Calvin. Saling merawat, dua kata itu memekarkan kembali bunga-bunga di taman hatinya. Beberapa tahun bersama, baru kali ini Sivia merawat Calvin.

Satu per satu obat diminumnya. Cukup lancar, Calvin tak perlu memuntahkan obatnya seperti yang pernah terjadi. Selesai meminum obat, Calvin tertidur. Sivia menyusul terlelap di sisi ranjang. Jemarinya bertautan dengan jari-jari Calvin.

**  

Di koridor, Jose menikmati sepi. Berusaha agar tetap terjaga. Mengabaikan rasa lelah yang menggerayangi sekujur tubuhnya.

Tak sekali pun ia menyesal. Biarlah, biarlah dia membayar denda senilai beberapa juta pada penerbit karena melewati deadline pengerjaan. Kondisi salah satu orang tercintanya lebih penting.

Apa pun yang telah terjadi, bagaimana pun perasaan Alea, Jose tetap menyayangi Calvin. Tidak ada dendam untuk sepupunya. Calvin tidak salah. Dia tidak pernah sengaja membuat Alea mencintainya. Alea mencintai Calvin, itu pilihannya sendiri.

"Alea..." Pria tampan bermata sipit menggumamkan nama istrinya.

Sudah tidurkah cinta pertama dan terakhirnya? Apakah ia merindukan Jose? Ah, Jose terlalu berharap. Mungkin saja yang dirindukannya adalah Calvin.

Dibukanya aplikasi chating. Hampir semua nama di kontaknya telah off. Termasuk nama Alea.

Pintu ruangan ia buka sedikit. Tertatap olehnya Calvin dan Sivia tidur sambil berpegangan tangan. Betapa romantisnya. Walau tertidur di tempat terpisah, mereka selalu dekat. Ditutupnya kembali pintu ruangan. Sisa malam dilewati Jose dalam keheningan koridor rumah sakit.

Paginya, Adica dan Rossie datang. Mereka tiba tepat pukul enam. Calvin, Jose, dan Sivia mengira mereka langsung masuk dan bersitegang dengan petugas sekuriti di luar begitu gerbang rumah sakit dibuka.

"Yipeee, kami bawa kejutan buat Calvin!" Rrossie berseru riang.

"Bukan tiramisu lagi, kan?" tanya Calvin waswas.

Di hari kelima, Adica dan Rossie nekat menyelundupkan tiramisu buatan mereka ke rumah sakit. Lagi-lagi mereka menganggap kue buatan mereka enak belaka. Calvin, yang selalu menghargai pemberian orang lain, berhasil memakan kue itu sampai habis.

"Bukan. Ini dari Alea. Semalam dia khusus memesannya pada Rossie." jawab Adica.

"Taraaa...!"

Rossie menyerahkan vas kristal berisi bunga anggrek Cattleya. Calvin menerimanya, speechless. Alea mengiriminya bunga? Untuk apa?

"Bunga bisa mempercepat kesembuhan pasien rumah sakit, Calvin." Adica dan Rossie bergantian memberi penjelasan.

"Bunga segar membuat pasien lebih bahagia, merasakan energi positif, dan menguatkan keinginan untuk sembuh."

Katakanlah Adica dan Rossie tak pandai memasak. Akan tetapi, mereka mahir soal bunga. Itu karena Adica dan Rossie menjadikan toko bunga sebagai modal hidup mereka.

Hati Calvin bergetar. Alea telah berbuat banyak untuknya selama dia sakit: mendonorkan darah dan mengirimkan bunga. Apa pun dilakukan Alea agar dirinya cepat sembuh. Semua itu sangat, sangat berarti.

Bila Calvin bahagia dan terharu, lain halnya dengan Jose. Mendung menghiasi wajahnya. Mengapa Alea berbuat sebanyak itu untuk Calvin? Alea masih sangat perhatian pada cinta pertamanya. Jose tak bisa berpikir positif seperti Sivia. Ya, wanita itu tak cemburu. Sebab Alea pernah mengirim bunga yang sama untuknya waktu ia lulus kuliah.

Jose keluar ruangan tanpa pamit. Ia menuju masjid di sayap kanan gedung rumah sakit. Ketenangan, itulah yang dicarinya. Badai itu belum reda.

Tiba di depan masjid, cobaan lain menderanya. Ia dan kursi rodanya dilarang masuk. Sungguh diskriminatif.

"Kenapa...?" tanya Jose tak terima.

"Yah...bisa saja kursi rodamu ada benda najisnya kan? Lagi pula, kurang kerjaan banget bolehin non-Muslim masuk masjid."

Sambil berkata begitu, beberapa jamaah dan pengurus masjid menatap sangsi ke arah mata Jose. Betapa kuat pengaruh stereotip di pikiran manusia. Stereotip menggerakkan orang untuk bersikap diskriminatif. Kerasnya pengaruh stereotip membuat golongan orang spesial dan minoritas terhalang untuk mengakses kesempatan. Bahkan kesempatan untuk masuk rumah ibadah.

Dengan sedih, Jose menggerakkan kursi rodanya. Satu lagi bentuk diskriminasi ia rasakan. Ironisnya, diskriminasi dilakukan oleh saudara-saudara seimannya sendiri. Hanya karena kursi roda, hanya karena matanya yang sipit.

Soal nyinyiran mata sipit masuk masjid pun pernah dialami Calvin. Jose ingat Calvin menceritakan pengalamannya. Tapi itu masih belum apa-apa bila dibandingkan dengan kursi roda. Andai Alea ada di sini...

"Abaikan mereka, abaikan mereka."

Terdengar suara lembut berirama seperti bernyanyi. Refleks Jose berpaling. Alea, wanita bergaun peach itu, berdiri di sisinya!

"Alea..."

Pelan-pelan Jose bangkit dari kursi roda. Meski tak bisa berjalan, ia masih bisa berdiri. Dua tubuh tinggi itu merapat dalam rengkuhan hangat.

"Sungguh disesalkan...orang dilarang masuk tempat ibadah hanya karena berkursi roda dan bermata sipit." Alea berujar sedih.

Jose terdiam. Ia tak membalas ketika Alea menciumnya.

"Kenapa kamu kabur dari ruangan Calvin?"

"Aku cemburu. Kamu mengiriminya bunga."

Alea tersenyum lembut. "Apakah aku tidak mengirimimu bunga saat kamu sakit?"

Seperti ada yang menyalakan lampu di kepala Jose. Waktu dia diamputasi, Alea mengirimkan anggrek Cattleya tiap pagi. Lebaran tiga tahun lalu, sewaktu Jose jatuh dari tangga dan harus menjalani operasi di bagian tulang, kamar rawatnya dipenuhi harum anggrek Cattleya. Wangi anggrek Cattleya itulah yang mempercepat pemulihannya ketika ia kehabisan banyak darah, muntah-muntah hebat, dan terluka parah. Alea dan anggrek Cattleya setia menemaninya dalam kondisi terberat.

Kini, ketika Calvin mengalami masa kelam, masih perlukah ia cemburu?

**   

Masa kelam itu berakhir. Akhirnya Calvin dibolehkan pulang. Di pagi kepulangannya, masih saja Calvin diawasi suster. Praktis ia tak banyak bergerak sebab takut izin tinggalnya di rumah sakit diperpanjang.

Tapi...

Selamat tinggal rumah sakit. Wellcome home.

Di hari kedua kepulangannya, Calvin menyiapkan kejutan untuk Sivia. Dia sudah mulai mempersiapkan segalanya sejak pagi. Sivia sibuk dengan urusan butik sampai malam. Calvin leluasa bergerak tanpa khawatir kejutannya terbongkar.

Calvin menyiapkan kejutannya sendiri. Ia tak meminta bantuan siapa pun. Kalau mau, bisa saja orang-orang kepercayaan dan tetangga ajaibnya membantu. Namun, Calvin lebih mempercayai dirinya sendiri.

Masa pemulihan sedikit menyulitkannya. Ia hanya bisa memasak menu simple. Dipastikannya kejutan itu bermakna, sekalipun simple.

Pria itu sungguh keras kepala. Tekadnya besar saat memiliki kemauan. Belum pulih total, ia nekat menyetir sendiri ke supermarket. Membeli semua bahan yang diperlukannya. Memasak appetizer, main course, dan dessert. Sambil memasak, Calvin berdoa agar malam nanti tidak turun hujan.

"Yes!" Ia tersenyum puas, mundur mengamati hasil karyanya.

Meja bundar dikeluarkan. Taplak putih ditutupkan ke atas meja. Tuhan mendengar doa Calvin. Malam itu, bintang-bintang tersenyum cerah.

Menit demi menit berlalu mendebarkan. Tak sabar Calvin menunggu Sivia pulang.

Dan...

Tik-tok, tik-tok.

Bunyi langkah kaki Sivia! Inilah saatnya.

Wanita cantik bergaun putih itu tertegun saat memasuki rumah. Mengapa cahaya redup? Hanya ada lilin-lilin bulat sebagai penerangan. Mata birunya menyapu sekeliling ruangan.

"Wow..." desah Sivia takjub.

Rangkaian bunga lily putih, lilin bulat, meja bundar, dan semua makanan kesukaannya tersaji di depan mata. Telinganya menangkap dentingan piano. Ditolehkannya kepala.

Itu dia.

Calvin semakin tampan dalam balutan jas putih. Ia benar-benar seperti malaikat. Tangannya menari lincah, memainkan sebuah lagu.

It's just another night

And I'm staring at the moon

I saw a shooting star

And thought of you

I sang a lullaby

By the waterside and knew

If you were here,

I'd sing to you

You're on the other side

As the skyline splits in two

I'm miles away from seeing you

I can see the stars

From America

I wonder, do you see them, too?

So open your eyes and see

The way our horizons meet

And all of the lights will lead

Into the night with me

And I know these scars will bleed

But both of our hearts believe

All of these stars will guide us home

I can hear your heart

On the radio beat

They're playing 'Chasing Cars'

And I thought of us

Back to the time,

You were lying next to me

I looked across and fell in love

So I took your hand

Back through lamp lit streets I knew

Everything led back to you

So can you see the stars?

Over Amsterdam

You're the song my heart is

Beating to

So open your eyes and see

The way our horizons meet

And all of the lights will lead

Into the night with me

And I know these scars will bleed

But both of our hearts believe

All of these stars will guide us home

And, oh, I know

And oh, I know, oh

I can see the stars

From America (Ed Sheeran-All Of Stars).

Mata Sivia berkaca-kaca. Dia melempar diri ke pelukan Calvin. Kejutan ini sungguh indah. Bukan substansinya, tetapi usaha Calvin menyiapkannya. Radar hati Sivia meyakini bila Calvin sendiri yang menyiapkan semuanya. Candle light dinner sudah sering mereka lakukan. Namun, biasanya mereka lakukan di resto. Belum pernah di rumah mereka sendiri.

"Kamu cantik sekali malam ini, Princess." ujar Calvin lembut.

Bibir Sivia mengguratkan senyum. Mereka berdua memulai candle light dinner. Sekali-dua kali saling melempar tatapan penuh arti.

Pisau dan garpu di tangan Sivia terjatuh. Ia kesulitan memotong steaknya. Tanpa diminta, Calvin menyuapi Sivia. Bukan membantu memotonngkan makanan seperti biasa, tetapi menyuapinya.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, hati Sivia menghangat. Hanya Calvin yang bisa membuatnya seperti ini.

"Tak ada yang bisa menggantikan Calvin Wan..." lirih Sivia.

"Ada dua Milyar orang di dunia ini, Sivia. Mudah sekali mencari penggantiku. Aku berharap kamu mencari penggantiku bila aku tak bisa mendampingimu lagi."

Mengapa harus itu? Mengapa harus kalimat itu yang terucap saat makan malam romantis mereka?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun