Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Candle Light Dinner

31 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 31 Oktober 2019   07:14 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di hari kelima, Adica dan Rossie nekat menyelundupkan tiramisu buatan mereka ke rumah sakit. Lagi-lagi mereka menganggap kue buatan mereka enak belaka. Calvin, yang selalu menghargai pemberian orang lain, berhasil memakan kue itu sampai habis.

"Bukan. Ini dari Alea. Semalam dia khusus memesannya pada Rossie." jawab Adica.

"Taraaa...!"

Rossie menyerahkan vas kristal berisi bunga anggrek Cattleya. Calvin menerimanya, speechless. Alea mengiriminya bunga? Untuk apa?

"Bunga bisa mempercepat kesembuhan pasien rumah sakit, Calvin." Adica dan Rossie bergantian memberi penjelasan.

"Bunga segar membuat pasien lebih bahagia, merasakan energi positif, dan menguatkan keinginan untuk sembuh."

Katakanlah Adica dan Rossie tak pandai memasak. Akan tetapi, mereka mahir soal bunga. Itu karena Adica dan Rossie menjadikan toko bunga sebagai modal hidup mereka.

Hati Calvin bergetar. Alea telah berbuat banyak untuknya selama dia sakit: mendonorkan darah dan mengirimkan bunga. Apa pun dilakukan Alea agar dirinya cepat sembuh. Semua itu sangat, sangat berarti.

Bila Calvin bahagia dan terharu, lain halnya dengan Jose. Mendung menghiasi wajahnya. Mengapa Alea berbuat sebanyak itu untuk Calvin? Alea masih sangat perhatian pada cinta pertamanya. Jose tak bisa berpikir positif seperti Sivia. Ya, wanita itu tak cemburu. Sebab Alea pernah mengirim bunga yang sama untuknya waktu ia lulus kuliah.

Jose keluar ruangan tanpa pamit. Ia menuju masjid di sayap kanan gedung rumah sakit. Ketenangan, itulah yang dicarinya. Badai itu belum reda.

Tiba di depan masjid, cobaan lain menderanya. Ia dan kursi rodanya dilarang masuk. Sungguh diskriminatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun