Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Malaikat, Lily, Cattleya] Ketika Reinhard Ingin Sakit

30 Oktober 2019   06:00 Diperbarui: 30 Oktober 2019   07:56 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Reinhard Ingin Sakit

Pertengkaran meledak di rumah Reinhard-Rinjani. Bila Jose dan Alea mempertengkarkan cinta, pasangan freaky ini perkaranya sepele: soal hewan peliharaan dan makanan.

"Reiiiiin!"

Teriakan Rinjani memecah keheningan rumah mungil itu. Reinhard nyaris saja menjatuhkan mousenya. Baiklah, istrinya sudah memulai "permainan" baru.


"Reinhard!"

Si pemilik nama sengaja menghiraukan panggilan itu. Menyelesaikan opini untuk koran nasional lebih penting. Ini opini kesekian yang ditulisnya. Syukur-syukur ada penerbit yang tertarik membukukan semua tulisannya.

Baru menulis dua paragraf, ada yang menjewer telinganya. Reinhard tersentak kaget. Rinjani berdiri di samping meja kerja dengan wajah murka.

"Kamu lebih sayang tulisanmu dari pada istrimu?! Dengar ya, Rein! Anjing peliharaanmu itu hampir menggigit tanganku!" omel Rinjani.

Mendengar itu, Reinhard terbelalak. Jelas ia tak percaya. Rinjani pasti mengada-ada.

"Mana? Tidak ada luka!" sangkal Reinhard.

"Makanya dengarkan baik-baik! Kubilang nyaris, Rein! Anjingmu nyaris menggigitku!"

"Mungkin dia nggak sengaja. Kamu juga sih, nggak ada aura-aura penyayang binatang sedikit pun."

Rinjani mengentakkan kakinya ke lantai parket. "Memang aku bukan pecinta binatang! Dari dulu aku nggak pernah suka kamu pelihara hewan! Kotor, mahal, bikin pengeluaran bulanan membengkak, dan risiko tertular penyakit! Pokoknya kamu harus singkirkan anjingmu dari rumah ini!"

Keterlaluan. Rinjani mencoba menyabotase hobinya. Reinhard merasa dirinya tak dimengerti. Mood menulisnya hancur berantakan. Dimatikannya laptop tanpa save dokumen yang baru saja ditulisnya.

"Sampai kapan pun, dia akan tetap di sini." tolak Reinhard tegas.

Rinjani mengurut dada. Mantan bankir yang kini mengelola online shop itu geram.

"Itu hukuman buat kamu. Bahkan anjingku tahu, kamu tidak punya aura penyayang." komentar Reinhard pedas.

Apa maksudnya itu? Nampaknya, Reinhard bersiap menyulut api pertengkaran baru.

Sebagai jawaban, Reinhard menarik tangan Rinjani ke ruang tengah. Televisi masih menyala. Menampilkan program memasak yang dipandu seorang chef wanita. Di meja samping sofa, tudung saji terbuka. Kosong.

"Aku ingin kamu seperti itu." tunjuk Reinhard ke pesawat televisi.

Mata Rinjani melebar. Dia salah paham. Dikiranya Reinhard membandingkan tubuh seksi chef itu dengan tubuhnya sendiri yang mulai berlemak.

"Sekarang kamu begitu ya! Membanding-bandingkanku dengan wanita yang lebih cantik! Ok fine, aku akan perawatan lagi! Asalkan suamiku kaya..."

"Bukan itu, Rinjani Magenta. Aku ingin kamu memasak untukku."

Paras Rinjani merah padam. Malunya salah persepsi. Dia pikir, Reinhard mulai berpaling ke perempuan seksi.

Selama ini, Rinjani tak pernah memasak untuk Reinhard. Selalu saja dia mengarang alasan. Waktu masih bekerja di bank, Rinjani menolak memasakkan sesuatu untuk Reinhard dengan alasan sibuk. Kini, setelah resign dan bekerja dari rumah, Rinjani tak mau memasak dengan alasan harus stand by dengan online shop. Semua alasan itu terkesan dibuat-buat menurut Reinhard.

"Aku ingin seperti tetangga kita," keluh Reinhard seraya membanting tubuhnya ke sofa. Ucapannya disambuti dengusan angkuh Rinjani.

"Rumput tetangga memang lebih hijau." timpalnya sarkastik.

"Aku ingin kamu seperti Rossie dan Adica yang selalu memasak bersama walau hasilnya tidak enak. Atau seperti Calvin yang sering memasak untuk Sivia dan Arini. Alea yang super sibuk saja, masih bisa menjadi caregiver buat suaminya. Ummi Adeline setia membacakan berkas-berkas yang perlu ditandatangani untuk Abi Assegaf. Kapan kamu seperti mereka?"

Keluhan Reinhard membuat Rinjani pusing. Baginya, suaminya tak tahu diri. Bagaimana mungkin Reinhard mengharap romantisme sementara kebebasan finansial belum tercapai?

"Rein, jangan bermimpi terlalu tinggi. Kita bukan mereka. Tetangga kita seperti itu karena mereka kaya. Nah kita...? Aku menikah dengan penulis gagal. Bukan penulis sesukses Andrea Hirata atau Tere-Liye. Ya jelas tidak mampu mengikuti standar mereka."

"Tidak harus menunggu kaya untuk menunjukkan cinta. Tidak harus menunggu kaya untuk membahagiakan orang lain."

Jujur saja, Reinhard tersinggung disebut penulis gagal. Dirinya tidak seburuk itu. Tulisan-tulisannya sering tembus media lokal dan nasional. Tiap kali honornya turun, Rinjani selalu kecipratan rezeki.

"Itu menurutmu. Sekarang aku tanya. Apa bedanya memasak sendiri dan membeli makanan di luar? Kalaupun aku memasak untukmu, hasilnya belum tentu enak. Energi terbuang, gas dan air terbuang."

"Kamu perhitungan sekali, Rinjani! Ini soal kultur! Dimana-mana, istri melayani suami!" bentak Reinhard marah.

"Siapa bilang? Calvin memasak untuk Sivia! Calvin merawat istrinya yang bberbeda itu!"

Pemikiran baru terbentuk di kepala Reinhard. Jadi, cinta bisa tumbuh karena sakit? Sivia punya kelainan self harm, Abi Assegaf mengalami kebutaan permanen, Jose sakit Hemofilia, dan Calvin penyintas sindrom kekentalan darah. Baiklah, ia ingin seperti mereka.

Reinhard melangkah gontai ke lantai atas. Meninggalkan Rinjani yang menyimpan masygul di hatinya. Sesampai di kamarnya, Reinhard merenung. Berkhayal betapa enaknya menjadi Jose, Calvin, Abi Assegaf, dan Sivia. Mereka menjadi spesial karena sakit. Mereka mendapat limpahan kasih sayang karena sakit. Ternyata sakit itu menyenangkan.

Baiklah, ia harus sakit. Reinhard membuka pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Ia nyalakan shower. Tanpa membuka baju, Reinhard duduk di bawah guyuran air dingin.

Satu jam. Dua jam. Tiga jam, Reinhard duduk memeluk lutut di bawah shower. Tubuhnya kedinginan. Bibirnya membiru. Tangannya keriput. Tetapi, mengapa flu tak kunjung datang?

Trik pertama belum berhasil. Dengan tubuh gemetar menahan dingin, Reinhard keluar dari kamar mandi. Disetelnya volume AC pada suhu terendah. Dingin di tubuhnya berkali-kali lipat. Senyum puas merekah di wajahnya. Kali ini pasti sukses.

Hati Reinhard dihinggapi putus asa. Berjam-jam duduk di bawah shower sudah, menyalakan AC di suhu terdingin sudah. Harus apa lagi?

Rinjani masuk kamar tanpa mengetuk pintu. Dia kaget mendapati suaminya duduk di ranjang dengan tubuh basah kuyup.

"Rein, nggak ada hujan lokal kan?" sindirnya.

"Puas kamu? Bikin aku melakukan hal-hal bodoh?"

"Lho, kok aku? Apa salahku?"

Senyum meremehkan itu, perasaan tak peka itu, membakar hati Reinhard. Pria yang tertarik menulis isu-isu politik itu bangkit. Rinjani menahannya.

"Aku mau pergi." kata Reinhard datar.

"Kemana?"

"Ke tempat yang kamu tidak tahu, dan kamu tidak bisa memanggilku kembali."

"Alah palingan ke rumah salah satu tetangga kita."

**   

Antara tidur dan terjaga, Calvin mendengar Sivia bernyanyi sambil menangis. Piano berdenting lembut, menambah melankolis suasana. Calvin terlalu lelah untuk beranjak bangun.

Seems like it was yesterday when I saw your face

You told me how proud you were, but I walked away

If only I knew what I know today

Ooh, ooh

I would hold you in my arms

I would take the pain away

Thank you for all you've done

Forgive all your mistakes

There's nothing I wouldn't do

To hear your voice again

Sometimes I wanna call you

But I know you won't be there

Ohh I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself by hurting you

Some days I feel broke inside but I won't admit

Sometimes I just wanna hide 'cause it's you I miss

And it's so hard to say goodbye

When it comes to this

Would you tell me I was wrong?

Would you help understand?

Are you looking down upon me?

Are you proud of who I am?

There's nothing I wouldn't do

To have just one more chance

To look into your eyes

And see you looking back

Ohh I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself, ohh

If I had just one more day

I would tell you how much that I've missed you

Since you've been away

Ooh, it's dangerous

It's so out of line

To try and turn back time

I'm sorry for blaming you

For everything I just couldn't do

And I've hurt myself by hurting you (Christina Aguilera-Hurt).

Hurt? Mengapa lagu itu? Sungguh, Calvin bisa mendengarnya.

Selang satu detik, Calvin merasakan sepasang tangan halus memeluknya. Sesuatu yang hangat dan basah menyentuh kening. Isakan itu tetap terdengar.

"Maaf aku melukaimu lagi semalam." sesal Sivia.

Ya, Sivia kembali melukai Calvin. Monster menakutkan bernama self injury menuntut dipuaskan. Tentu Calvin tak membiarkan tubuh istrinya jadi korban.

Dan...

Pagi ini, Sivia harus pergi. Menuntaskan satu project skenario film. Janji terlanjur terpatri hitam di atas putih. Kewajiban dalam kontrak harus segera ditunaikan.

Sebenarnya dia tidak ingin meninggalkan belahan jiwanya. Siapa yang rela sepenuh hati meninggalkan kekasih hati dalam kondisi sakit? Andai saja ia tak terburu membuat janji. Namun Sivia yakin, Calvin tak sendiri. Penjagaan Tuhan lebih kuat dibandingkan perlindungan manusia mana pun. Ada pula tetangga-tetangga mereka yang ajaib. Percayalah, Calvin takkan dibiarkan sendirian.

Sivia melangkah pergi dengan berat hati. Lantai parket memantulkan bunyi langkah kakinya. Terpaksa ia pergi tanpa menunggu suaminya bangun.

Sejak sakit, waktu tidur Calvin lebih lama. Dia membutuhkan 9-10 jam untuk tidur. Sehari saja kurang istirahat, efeknya fatal.

Calvin terbangun sesaat setelah deru mobil Sivia meninggalkan halaman. Ribuan jarum menusuk-nusuk tubuhnya. Dipaksakannya diri untuk bangun dan beraktivitas.

Ritme hidupnya berubah semenjak meninggalkan kantor. Istirahat lebih lama, berdoa lebih tenang, tinggal di lingkungan yang lebih ramah, dan punya waktu luang lebih banyak. Semua kelebihan itu dibarengi dengan tubuhnya yang lebih sering memprotes. Setiap pilihan mengandung risiko.

Kenyataan membuka tabirnya sendiri di depan mata Calvin. Tanpa perlu penjelasan sesiapa, Calvin tahu tubuhnya telah berbeda. Obat-obat pengencer darah yang rutin diminum tiap hari, tubuh yang mudah letih, dan perdarahan yang lebih sering. Kurang jelas apa lagi semua realitas itu?

Kini Calvin tak ada bedanya dengan Jose. Menyintas kelainan darah. Menggantungkan hari demi hari pada obat agar tetap terlihat sehat. Sehat dengan catatan, begitu pil pahit yang harus ditelan pengidap kelainan darah.

Ting tong

Dering bel memutus kesedihannya. Kehadiran tetangga-tetangga ajaib yang bertamu hampir tiap hari menjadi hiburan tersendiri baginya. Siapakah yang datang pagi ini? Reinhard-Rinjani yang meminjam sesuatu, Alea yang menangis, Revan yang meminta sarapan, ataukah Adica-Rossie yang berbagi hasil masakan mereka?

Pintu mengayun terbuka. Betapa kagetnya Calvin menjumpai Reinhard dengan tangan keriput, tubuh basah, dan bibir membiru. Cepat-cepat ia membawa Reinhard masuk. Diberinya baju ganti. Firasatnya mengatakan, tujuan kedatangan Reinhard pagi ini bukan untuk meminjam sesuatu.

"Ada apa, Rein?" tanya Calvin penuh perhatian.

"Aku berantem sama Rinjani." Reinhard menjawab, suaranya bergetar.

"I feel sorry for you."

Reinhard bersyukur telah datang ke rumah yang tepat. Bayangkan kalau ia curhat pada tetangga ajaibnya yang lain. Jose hanya akan mengangguk dengan wajah dingin sambil menanggapi pendek-pendek. Bukannya mendengarkan, Revan pastilah meminta sarapan bersama. Adica dan Rossie bakal memaksanya mencicipi masakan mereka yang gagal untuk kesekian kali. Calvin, Calvinlah yang membuatnya tenang.

Sambil menunggu MacBooknya booting, Calvin menyeduhkan coklat panas untuk Reinhard. Ia pendengar yang baik. Calvin menyediakan dirinya untuk mendengarkan, bukan mengomeli.

"Kalau bisa tetap sehat, mengapa harus sakit Rein?" Calvin menanggapi, lembut.

"Memangnya aku tidak boleh sakit? Biar Rinjani memperhatikanku..."

"Ada ribuan cara untuk menarik perhatian orang lain. Sakit bukanlah salah satunya..."

Kalimatnya terpotong. Sakit itu datang lagi. Mengganas, menggerogoti, menuntut diperhatikan.

"Hei, kamu kenapa?" tanya Reinhard khawatir.

Calvin terbatuk. Darah segar mengalir dari sudut bibir dan hidungnya. Tertatih ia meninggalkan ruang tamu. Reinhard lekat mengikuti.

Lutut Reinhard lemas melihat apa yang terjadi. Calvin membuka keran wastafel. Ia muntah darah. Wastafel putih itu berubah kemerahan. Setelah memuntahkan darah, Calvin jatuh pingsan.

**

Ruang rawat VIP dipenuhi atmosfer kecemasan. Sekumpulan pria-wanita berparas perpaduan Oriental, Barat, dan Timur Tengah duduk bersisian. Wajah mereka sendu. Mata mereka sayu.

Pria tampan yang baru menemukan kembali kesadarannya itu berulang kali berterima kasih. Wanita cantik berambut pendek dan berhidung mancung di depannya menyeka mata. Wanita lain, yang berambut lebih panjang dan bermata biru, merasa tertampar.

"I'm useless..." Sivia menyalahkan dirinya sendiri.

"Kenapa Alea yang bisa, bukan aku?"

Ummi Adeline, Rossie, dan Rinjani bergantian memeluknya. Abi Assegaf berbisik menenangkan. Jose memberi belaian singkat di lengan Sivia. Adica dan Reinhard meyakinkan Sivia kalau ini bukan salahnya.

"Mas Jose nggak cemburu Mbak Alea donorin darahnya buat Mas Calvin?" Ummi Adeline membisikkan tanya.

"Hanya orang bodoh yang mencemburui orang sakit." Jose menyahuti, dingin.

"Sebodoh orang yang ingin sakit agar diperhatikan."

Nada menyindir dalam suara Rinjani membuat Reinhard tertampar. Setelah melihat Calvin dengan kondisi seperti ini, dia menyadari betapa bodoh kemauannya. Nikmat sehat tak dapat ternilai.

"Siapa yang minta sakit? Bodoh sekali." Selidik Revan yang sejak tadi diam saja.

"Suamiku tersayang."

Mata biru Revan serasa menusuk Reinhard. Seakan pria bermarga Tendean itu akan melubanginya lewat pandangan.

"Oh my God...hanya orang dengan mental illness yang punya pikiran seperti itu." desah Rossie.

Reinhard malu, malu sekali. Bisa-bisanya dia menginginkan penyakit di saat tubuhnya sehat. Tuhan bisa murka.

Tatapan-tatapan tetangganya menghujam ke relung hati. Hanya Calvin dan Alea yang tetap lembut dalam sorot mata mereka. Walau sedikit ditenangkan, tetap saja Reinhard malu pada mereka semua.

Hati kecilnya terus memanggil. Memanggilnya untuk minta maaf pada Tuhan. Meminta sakit sama saja mengingkari nikmatNya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun