"Itu menurutmu. Sekarang aku tanya. Apa bedanya memasak sendiri dan membeli makanan di luar? Kalaupun aku memasak untukmu, hasilnya belum tentu enak. Energi terbuang, gas dan air terbuang."
"Kamu perhitungan sekali, Rinjani! Ini soal kultur! Dimana-mana, istri melayani suami!" bentak Reinhard marah.
"Siapa bilang? Calvin memasak untuk Sivia! Calvin merawat istrinya yang bberbeda itu!"
Pemikiran baru terbentuk di kepala Reinhard. Jadi, cinta bisa tumbuh karena sakit? Sivia punya kelainan self harm, Abi Assegaf mengalami kebutaan permanen, Jose sakit Hemofilia, dan Calvin penyintas sindrom kekentalan darah. Baiklah, ia ingin seperti mereka.
Reinhard melangkah gontai ke lantai atas. Meninggalkan Rinjani yang menyimpan masygul di hatinya. Sesampai di kamarnya, Reinhard merenung. Berkhayal betapa enaknya menjadi Jose, Calvin, Abi Assegaf, dan Sivia. Mereka menjadi spesial karena sakit. Mereka mendapat limpahan kasih sayang karena sakit. Ternyata sakit itu menyenangkan.
Baiklah, ia harus sakit. Reinhard membuka pintu kamar mandi di dalam kamarnya. Ia nyalakan shower. Tanpa membuka baju, Reinhard duduk di bawah guyuran air dingin.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam, Reinhard duduk memeluk lutut di bawah shower. Tubuhnya kedinginan. Bibirnya membiru. Tangannya keriput. Tetapi, mengapa flu tak kunjung datang?
Trik pertama belum berhasil. Dengan tubuh gemetar menahan dingin, Reinhard keluar dari kamar mandi. Disetelnya volume AC pada suhu terendah. Dingin di tubuhnya berkali-kali lipat. Senyum puas merekah di wajahnya. Kali ini pasti sukses.
Hati Reinhard dihinggapi putus asa. Berjam-jam duduk di bawah shower sudah, menyalakan AC di suhu terdingin sudah. Harus apa lagi?
Rinjani masuk kamar tanpa mengetuk pintu. Dia kaget mendapati suaminya duduk di ranjang dengan tubuh basah kuyup.
"Rein, nggak ada hujan lokal kan?" sindirnya.