"Aku mau pergi! Jangan cari aku!" gertak Sivia.
Ia memberikan salam perpisahan berupa pukulan di kepala Calvin. Pukulan itu menghasilkan luka kecil. Aku tergugu. Kucaci-maki Sivia. Baik Calvin maupun Sivia tidak mendengarkanku.
Sejurus kemudian, Sivia merenggut pintu kamar hingga terbuka. Travel bag tersandang di bahunya. Calvin tak kuasa mencegah istrinya pergi. Tubuhnya terlalu lemah untuk mengejar Sivia.
Ow malaikat tampan bermata sipitku, kenapa semuanya jadi begini? Kenapa kamu rela dilukai berkali-kali? Aku ingin memelukmu, ingin menghiburmu. Demi Tuhan, aku tak terima tubuhmu dilukai hanya karena penyakit kejiwaan yang dialami seorang wanita.
Bicara tentang wanita, sejak tadi tubuhku terus bergetar. Pop up bertuliskan Alea berpendar. Alea, pastilah seorang wanita. Wanita berparas cantik dengan hidung mancung dan rambut pendek, begitu yang kulihat di foto kontaknya.
Getaran itu terus berlanjut. Alea sangat mencemaskan Calvin. Bisa kurasakan itu.
Hujan kian deras. Langit menggelap seolah malam datang lebih cepat. Sambaran petir memperparah suasana. Sabtu pagi yang suram.
Di tengah kesuraman itu, Alea datang. Ia menghambur masuk dengan rambut basah. Cepat dipapahnya Calvin ke tempat tidur. Diambilnya kain kompres dan obat luka.
"Sivia lagi, kan?" bisiknya.
Calvin menggeleng. Susah payah memaksakan senyum. Alea mengernyitkan dahi.
"Calvin, jangan tutupi apa pun dariku. Sivia kan yang melukaimu?" desak Alea.