Diam-diam aku geram. Rasanya ingin kuhantamkan tubuh porselenku ke kepala Jose dan Sivia. Biar mereka sadar, perbuatan mereka telah membuat sepotong hati malaikat patah. Betapa bodohnya mereka.
** Â
Malamnya, Calvin jatuh sakit. Tekanan batin yang begitu dalam mengisap daya tahannya. Tubuh tinggi semampai itu terbaring lemah di ranjang king size. Parasnya pias, seolah tak berdarah lagi.
Tapi...
Sepertiga akhir malam, Calvin menguatkan diri untuk bangun dan berdoa sesaat. Rutinitas sedikit bergeser. Dia mengisi tubuhku dengan teh hangat sesudah berdoa.
Calvin sendirian, sungguh sendirian. Ia mencium bibirku dalam sepi. Tidak tidak, ada aku yang selalu menemaninya.
Meja kecil di kamar tidur utama tak hanya terisi diriku yang cantik. Terdapat vas mungil berisi bunga lily dan anggrek Cattleya Sekotak tissue berdiri mengapit vas bunga. Kehadiran tubuhku yang seksi melengkapi mereka.
Kulihat Calvin mengambil beberapa helai tissue. Sakit ini membuat hidungnya mengalirkan cairan pekat. Aku kaget, menahan napas. Bukan, itu bukan ingus seperti yang kukira. Tetapi darah.
"Calvin, kamu kenapa?" tanyaku panik.
Ia tak mendengarku. Sibuk menyeka darah segar dari hidungnya.
Perasaanku tak enak. Sakitnya Calvin bukan penyakit biasa. Berkali-kali kulihat dia mimisan. Dari bisik-bisik percakapan Minah dengan supir di dapur, kutahu kalau Calvin pernah muntah darah. Namun pria yang terlambat menikah itu tak peduli pada kondisi tubuhnya.