Aku Bangga Memasak Bersamamu
Halo, coba tebak siapa aku? Berasap ruanganku, berminyak lantaiku, dan beraroma bumbu tubuhku. Aku adalah bagian penting di dalam rumah. Tiap rumah wajib membangun aku di dalamnya. Kalau tidak ada aku, seisi rumah bisa kelaparan.
Tubuhku disesaki meja masak berukuran super besar. Lantaiku licin terkena tumpahan minyak, saus, daging, dan sayuran. Asap beraroma makanan menggantung di langit-langitku. Di sini selalu berisik karena para penggunaku sibuk memotong sayuran, mengiris daging, menggoreng salmon, memanggang kue, merebus mie, mengocok telur, dan memblender bumbu. Wah pokoknya tak pernah sepi.
Aku kenal semua penghuni rumah megah ini. Tapi tak semuanya sering main-main ke tempatku. Yang paling sering mengunjungiku tak lain pria tinggi, berparas oriental, dan berkacamata. Pria itu mahir memasak Chinese food. Meski begitu, dia jago juga membuat menu Barat dan oriental.
Senang hatiku tiap kali pria itu mengunjungiku. Dia selalu membawa energi positif. Pria yang sering memakai jas mahal itu memasak dengan hati. Wajar bila hasil masakannya selalu enak.
Seisi rumah memanggilnya Calvin. Oh, mungkin itu namanya. Hampir tiap hari Calvin bermain di tempatku. Ada saja masakan lezat yang dibuatnya. Kalaupun tidak memasak, dia datang untuk menyeduh teh. Calvin ini orang sibuk tetapi masih sempat mengolah bahan makanan.
Dari Minah dan Alea, kutahu bahwa Calvin seorang pengusaha merangkap blogger. Pria yang lahir di bulan Desember itu tak pernah pelit ilmu. Sering kali dia membagikan resep masakannya lewat tulisan atau video. Pernah dia mengajak serombongan anak dari Sekolah Minggu Buddhis untuk memasak di tempatku. Waktu itu, mereka membuat nasi Hainam, nasi gurih dengan campuran minyak wijen, kaldu ayam, dan jahe. Calvin mengajari bocah-bocah itu dengan sabar.
Menjelang Imlek tahun lalu, Calvin berbaik hati memasak untuk keluarga besarnya. Bukan pelit, tetapi mereka rindu masakan pria charming itu. Selama berjam-jam Calvin mengolah kue keranjang, Siu Mie, Yu Sheng (salad ikan segar yang ditambahkan wortel), bebek Pekking, dim sum, lapis legit, teh telur, dan kue mangkuk. Banyak sekali makanan yang dimasaknya, dan aku tahu Calvin kelelahan setelahnya.
Kukagumi Calvin karena ia serba bisa. Memasak apetizer ok, mengolah main course jagonya, dan membuat dessert ahlinya. Kenapa dia tidak jadi chef ya?
Di pagi pertengahan November yang dingin, pernah kulihat Calvin mengunjungiku dengan tergesa-gesa. Ia masuk sambil menenteng seplastik daging babi. Aku kaget. Daging babi? Bukankah Calvin tidak makan daging itu?
Kuperhatikan saja ia memotong-motong daging. Kemudian dicampurkannya arak beras, bawang putih, jahe parut, bumbu Ngohiong, dan Le Kum Kee. O-ow, aku tahu. Sepertinya dia akan memasak Charsiu atau babi panggang. Untuk apa ya? Apakah Calvin berubah pikiran? Apakah ia ingin membuang penat hidupnya dengan menikmati daging babi?
"Hei, apa yang kamu lakukan? Buat apa masak daging babi?" Kuajak dia bicara. Namun, dia tak mendengarkanku.
Aku berdecak kesal. Di luar, hujan mengguyur lebat. Petir sambar-menyambar. Cahaya kilatnya menyilaukan mata. Cuaca sungguh tidak bersahabat.
Pintu dapur terbuka keras. Alea masuk terburu-buru. Matanya melebar mendapati daging babi terpotong rapi di mejaku.
"Calvin, what are you doing?" tanyanya heran.
"Memasak babi panggang untuk sepupuku yang kritis. Dia minta dibuatkan Charsiu." jawab Calvin apa adanya.
"Apa? Masa orang kritis diberi babi panggang? Bisa melonjak tensinya!" protes Alea.
Sejurus kemudian, Calvin berbalik dari oven. Diangkatnya dagu Alea. Dengan lembut, dia berucap.
"Alea, temani aku memasak ya. Tidak, kamu tidak perlu mengolah daging babi. Temani saja aku di sini. Nanti kujelaskan."
Alea mendesah pasrah. Dijatuhkannya tubuh tinggi langsingnya ke sebuah kursi. Dengan gelisah, mantan gadis sampul itu memilin-milin rambut pendeknya.
Asap Charsiu mengepul. Kulihat wajah Alea pucat menahan mual. Pastilah dia merasa asing mencium harum daging babi.
"Calvin, aku mau muntah." erangnya.
Calvin mendekat. Diusap-usapnya lengan Alea.
"Sorry...kamu tidak terbiasa dengan aroma daging babi. Ah, kamu seperti Jose." gumamnya.
Kedua alis Alea terangkat. "Kenapa aku mirip suamiku?"
"Selama dirawat di rumah sakit, Jose akan bilang padaku tiap kali dia ingin muntah."
Babi panggang pun matang. Calvin menempatkannya dengan cantik di piring saji. Plating, bentuk kemahirannya yang lain. Kurasakan Alea iri dengan Calvin. Platingnya tak pernah sebagus itu.
"Calvin, untuk siapa Charsiu ini? Bukan untukmu, kan?"
"Sudah kubilang ini untuk sepupuku yang kritis, Alea. Tak ada harapan lagi untuknya. Charsiu ini permintaan terakhirnya."
Kepala Alea terangguk pelan. Tanpa kata, diraihnya dua kantong kertas berwarna coklat. Dipisahkannya babi panggang buatan Calvin dalam dua kantong tersebut.
"Makanan sebanyak ini, tidak semuanya untuk sepupumu kan?" ujarnya.
"Iya. You know-lah. Sebagian akan kubawa ke vihara."
Bibir Alea melengkung membentuk seleret senyuman. "Kamu aneh sekali ya, Calvin. Kamu memasak makanan yang tidak ingin kamu makan. Waktu ikut kursus masak, seorang chef pernah bilang padaku. Jangan pernah memasak makanan yang tidak mau kita makan."
"Ini konteksnya berbeda, Alea. Bukan tidak mau, tapi tidak boleh. Kaitannya dengan aturan agama. Seperti kamu, kan? Tadi kamu mual mencium aroma daging babi. Kamu mual karena sejak kecil terpapar doktrin kalau babi itu haram. Betapa kuat doktrin mempengaruhi diri seseorang."
Aku setuju dengan Calvin. Doktrin memberikan sugesti yang luar biasa kuatnya. Selesai membungkus makanan, kulambaikan tangan melepas Calvin dan Alea. Mereka pergi menembus pagi berhujan.
** Â Â
Andai kau tahu
Di sini 'ku merindu kamu
Merindu karena 'ku tak mampu
Bertahan untuk tak memilikimu
Kau yang selalu ada di dekatku
Kau sahabatku, haruskah 'ku menunggu
Hingga kau mengerti rasa hati ini?
Tak ingin dirimu bersama yang lain
Aku sedang mencintaimu
Meski kau takkan pernah tahu
Akankah sang waktu menjaga hatiku
Untuk selalu menunggumu? (Maudy Ayunda-Aku Sedang Mencintaimu).
** Â Â
Pagi ini hujan lagi. Akan tetapi, Calvin sungguh luar biasa. Di saat kebanyakan orang lain masih betah berselimut, dia telah turun menemuiku. Pakaiannya rapi. Jas Versace hitam membalut sempurna lekuk tubuhnya. Aku heran, bagaimana mungkin Calvin bisa memasak dengan memakai jas begitu ya? Tidakkah dia takut jasnya kotor?
Dengan cemas, kupandangi wajah pucatnya. Kudengar Calvin terbatuk beberapa kali. Apakah ia sakit? Chef kesayanganku ini memang gampang ngedrop.
"Yeay, chef Calvin is back." Aku bersorak senang. Seperti biasa, dia tidak mendengarkanku.
Ritual memasak dimulai. Wah wah wah, mengapa Calvin memasak sebanyak itu? Akan ada acara lagikah? Nope, ini bukan hari spesial. Ini weekdays.
Tapi...
Calvin memasak sarapan begitu banyak. Memangnya mau memberi makanan orang sekampung? Mungkin juga sih, Calvin kan senang berbagi makanan tiap minggu. Dua minggu lalu, diundangnya seratus anak panti asuhan untuk makan siang. Calvin sendiri yang memasakkan sandwich tuna, iga bakar, perkedel jagung, dan ayam gulung saus coklat untuk mereka.
Wow wow wow, menu sarapannya lengkap sekali. Ada sereal dengan campuran susu rendah lemak, havermut, bubur ayam lengkap dengan kerupuknya, smoothies pisang, roti panggang, scrambled egg, pancake, buah-buahan, dan greek yoghurt. Untuk siapa Calvin memasak sarapan sebanyak itu pagi-pagi begini?
Pertanyaanku terjawab. Dari arah koridor luar, kudengar derap langkah sepatu berhigh heels. Ah, rasanya tak asing. Itu pasti si Nyonya galak.
"Hai Princess," Calvin melemparkan senyum mautnya begitu Sivia memasuki tubuhku.
"Hmmm..." balas Sivia tanpa senyum.
"Kamu sarapan dulu ya. Aku siapin ini semua buat kamu." tawar Calvin seraya menunjuk aneka menu yang telah tertata rapi.
Mata biru Sivia membesar. Dia menggeleng tegas.
"Nggak bisa, aku buru-buru. Aku ambil ini aja." katanya pendek.
Dan...kalian tahu apa yang diambilnya? Dua butir apel! Ya, hanya itu. Tak sedikit pun disentuhnya masakan buatan Calvin. Keterlaluan!
"Are you sure? Kamu nggak mau sarapan yang lain?" tanya Calvin, raut wajahnya kecewa.
"Nggak usah. Aku jalan dulu ya."
Tik-tok, tik-tok, sepatunya berdentam-dentam di lantaiku. Sivia bergegas pergi. Meninggalkan Calvin berdiri membeku dengan hati masygul.
Aku marah, marah sekali dengan Sivia. Enak saja wanita September itu menyia-nyiakan malaikat tampan bermata sipitnya. Calvin memang layak kok disebut malaikat. Sivia saja yang terlalu bebal untuk melihat sisi lain suaminya.
Oh, bolehkah aku menangis? Aku menangis karena terharu dan bangga. Aku bangga bisa membersamai hari-hari Calvin. Aku bangga bisa menjadi saksi bisu kebaikan hati dan perjuangan cintanya. Di ruanganku, Calvin mencurahkan kasih sayang lewat kelezatan masakan. Sungguh aku bangga padanya. Ingin kukatakan pada seisi dunia betapa bangganya diriku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H