Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Cerita Minggu Pagi

6 September 2019   06:00 Diperbarui: 6 September 2019   06:15 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Silvi ingin merayakan ulang tahunnya bersama Ayah Calvin, Jose, dan Bunda Alea. Jose senang karena ia tak lagi kesepian. Sepasang sepupu yang terlahir sebagai anak tunggal itu saling menemani.


Lama-kelamaan Silvi iri melihat Jose yang kini memiliki keluarga utuh. Ingin rasanya ia meminta Paman Revan mencarikan Bunda. Namun, Paman Revan tak pernah mau menikah lagi.

Rumah Ayah Calvin adalah tempat ternyaman kedua setelah rumahnya. Silvi betah tinggal di kediaman bertingkat tiga dengan nuansa putih itu. Semua orang di rumah itu menyayanginya.

Ayah Calvin dengan senang hati menguncirkan rambut Silvi. Bunda Alea membelikannya dress cantik dan mahal. Jose meminjamkannya koleksi buku cerita terbaru.

Di dekat Ayah Calvin, Silvi merasa tenang. Gadis cantik bermata biru yang sangat mirip Papanya itu dapat melupakan kesedihannya sejenak. Sedih karena tidak punya ibu.

"Tapi Bunda Alea juga ibumu, Sayang." koreksi Ayah Calvin lembut.

Silvvi menggembungkan pipi. Satu tangannya menarik-narik jas Ayah Calvin.

"Bunda Alea kan nggak tinggal di rumah Silvi. Bunda Alea tinggalnya sama Gabriel." bantahnya.

Ayah Calvin tersenyum miris. Ternyata keponakannya itu rindu figur perempuan dewasa di rumah. Perempuan dewasa yang memasakkannya setiap hari, mendandaninya, memilihkan pakaiannya, dan membacakan cerita untuknya sebelum tidur. Benar bahwa semua tugas itu mampu dilakukan Paman Revan. Namun, kenyataannya Paman Revan tetaplah seorang pria yang sibuk dengan perusahaan keluarga.

"Ayah, Silvi ingin dikuncir..." pinta Silvi manja.

Tanpa kata, Ayah Calvin membuka kotak aksesoris milik Silvi. Mencari-cari sebentar, lalu menarik keluar sebentuk ikat rambut berwarna biru. Biru, warna favorit Silvi. Sejurus kemudian, Ayah Calvin menguncirkan rambut Silvi.

"Silvi sayang Ayah Calvin." bisik gadis kecil itu tulus, teramat tulus.

"Ayah sayang Silvi." balas Ayah Calvin lembut.

Tiga menit kemudian, rambut Silvi terkuncir rapi. Ponny tail menjuntai indah di kepalanya. Silvi tersenyum puas.

Hujan mencium langit tanpa permisi. Lantai balkon membasah terkena tetesnya. Buru-buru Ayah Calvin membawa Silvi menjauh dari balkon. Dituntunnya anak perempuan itu ke kamar utama.

Pendingin udara dimatikan. Hujan kian deras, kian deras, kian deras. Langit sore bertambah kelam, seolah malam memutuskan untuk datang lebih cepat. Silvi duduk sedekat mungkin dengan Ayah Calvin. Ia kedinginan dan ketakutan.

"Silvi nggak suka hujan. Tetes hujan tuh kayak air mata..." lirihnya.

Ayah Calvin memeluk Silvi. Ia bernyanyi lembut untuk menenangkan gadis itu.

You are a miracle

You are a blessing from above

You brought joy to my soul

And pleasure to my eyes

In my heart I can feel it

An unexplainable feeling

Being a father

The best thing that I could ever ask for

Just thinking of you makes me smile

Holding you, looking in your eyes

I'm so grateful for having you

And everyday I pray

I pray that you'll find your way

You know I love you, I love you

My little girl, my little girl

I ask God to bless you, and protect you always

My little girl, my little girl (Maher Zain-My Little Girl).

Mata Silvi berembun mendengar nyanyian itu. Ia terharu, sungguh terharu. Ayah Calvin adalah ayah impiannya.

Pyar!

Petir menggelegar keras. Kaca-kaca jendela bergetar hebat. Tab di atas meja dekat jendela meluncur jatuh. Ayah Calvin cepat memungutnya. Layar tab menyala, menampilkan file-file foto.

"Ayah, itu foto siapa?" tunjuk Silvi.

"Ini? Ini foto para blogger, Sayang. Ayah dan Bunda Alea hadir di acara temu para blogger."

Mata Silvi tertumbuk ke arah sesosok pria berumur 60-an, bercelana jeans, dan berkaus hitam. Penampilannya sederhana, tetapi senyumnya ramah. Di foto itu, si pria nampak berjabat tangan dengan Ayah Calvin.

"Ayah, Opa-Opa itu kayaknya ramah ya. Siapa namanya, Ayah?" tanya Silvi penasaran.

"Namanya Opa Thamrin. Beliau penulis hebat. Opa Thamrin punya penerbit buku."

Silvi takjub mendengarnya. Dimintanya Ayah Calvin bercerita tentang pria bernama Thamrin itu.

"Opa Thamrin sering membantu orang menerbitkan buku. Beliau juga mengajari banyak orang menulis. Opa Thamrin selalu menulis cerita di Hari Minggu."

"Cerita di Hari Minggu? Ayah, Silvi mau dibacain ceritanya."

Sesaat Ayah Calvin mengutak-atik tab berlogo apelnya. Lalu dia mulai membacakan cerita.

"Satu Es Krim R, cerita Minggu Pagi 26. R menepok-nepok jidat yang bak tanggul dengan dua lembar foto ukuran 10 R. Kadang berkacak pinggang. Sesekali menghembuskan nafas. Dan lebih banyak menghentak-hentakkan kakinya ke bumi."

Suara Ayah Calvin lembut dan empuk. Silvi menikmatinya. Seperti juga Ayah Calvin yang menikmati kegiatannya mengurus gadis kecil. Wajar, karena Ayah Calvin tak punya anak perempuan.

"Tak ada hasil. Makhluk misterius itu sudah menghilang dalam kerumuman dan bersliwerannya Dago pada minggu pagi yang cerah itu. Kalau ia berhalo-halo misalnya melalui pengeras suara dari OB Van radio..."

Cerita terpotong. Ayah Calvin terbatuk. Darah segar tumpah dari rongga hidungnya. Ia terbatuk lagi, lalu meninggalkan Silvi.

Benar kata Gabriel, pikir Silvi cemas. Kini dia memaklumi betapa khawatir sepupunya tiap kali ditinggal-tinggal. Ayah Calvin meninggalkan Silvi untuk muntah.

Tak lama, Ayah Calvin kembali dengan wajah pucat. Noda darah tersisa di sudut bibirnya. Silvi sedih, sedih sekali.

"Ayah kenapa? Ayah jangan sakit terus...!" isaknya.

Dalam hitungan detik, Silvi dan Ayah Calvin berganti posisi. Keduanya berbaring di ranjang king size. Silvi mendekap ayah keduanya erat. Tanpa diberi tahu, anak cantik keturunan Manado Borgo itu paham kalau ayah keduanya butuh lebih banyak istirahat. Obat-obatan saja tak cukup. Ayah Calvin dan Silvi tertidur sambil berpelukan.

**   

Cemburukah Jose dengan kedekatan sepupu dan ayahnya? Tidak, Jose sudi berbagi cinta Ayah Calvin untuk Silvi. Selama Silvi bersama Ayah Calvin, Jose fine-fine saja bersama Bunda Alea. Lihatlah apa yang mereka lakukan di kamar sebelah.

Jose dan Bunda Alea membereskan mainan. Mereka baru selesai bermain monopoli. Hasilnya, Jose kalah dan harus menerima kesepakatan awal. Wajahnya belepotan tepung dan krim.

"Sini, Sayang. Bunda bersihkan ya..."

Dengan lembut, Bunda Alea mengusapkan tissue ke pipi putranya. Membersihkan tepung dan krim pelan-pelan. Hati Jose menghangat. Inilah rasanya punya ibu.

Setelah bermain, mereka menulis bersama. Bunda Alea menulis artikel dan Jose menulis buku. Entah mengapa, mereka rindu acara kepenulisan. Rindu para penulis buku dan penulis blog.

Terbersit di hati Bunda Alea untuk menyapa teman-teman blogger via grup media sosial. Belum sempat keinginan itu dilakukan, ponselnya bergetar berkali-kali. Pada saat bersamaan, iPhone Jose terus berbunyi. Puluhan notifikasi berebutan masuk. Dari grup yang sama.

Sedetik. Tiga detik. Lima detik, mata Jose kian menyipit. Bunda Alea kaget bercampur tak percaya.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un..." Keduanya berucap bersamaan.

"Bunda, Opa Thamrin ini yang pernah telponan sama Jose. Opa Thamrin cerita tentang buku...!" ungkap Jose tak percaya.

Bunda Alea mengangguk kaku. Tangannya sedingin es. Benarkah ini? Seseorang yang tegap, sehat, dan ceria dipanggil Tuhan lebih cepat. Umur memang rahasia Tuhan, Bunda Alea membatin sedih. Suaminya yang sakit kekentalan darah, Thamrin Sonata yang lebih dulu pergi ke surga.

"Calvin harus tahu..." Bunda Alea bergumam sendiri.

Wanita cantik bergaun putih itu bergegas ke kamar utama. Jose menyusulnya. Didengarnya Bunda Alea terisak tertahan.

Mendengar istrinya masuk kamar sambil menangis, Ayah Calvin terbangun. Selembut mungkin dilepasnya pelukan Silvi agar anak itu tidak terbangun. Si pria Desember berganti merengkuh Bunda Alea.

"Kenapa, Alea? Kenapa kamu menangis, Sayang?"

"Teman kita semua...teman yang baik padamu, padaku, pada Jose...meninggal dunia."

Selang dua detik, ruang pemahaman terbuka. Ayah Calvin kaget dan tidak percaya. Kekagetan itu berganti rasa kehilangan.

"Aku harus ke sana. Aku harus ke rumah duka..." ujar Ayah Calvin.

"Ayah...jangan pergi. Ayah kan lagi sakit." cegah Jose.

Bocah tampan itu cukup peka. Sekali lihat saja, dia sadar jika sang ayah sakit. Bunda Alea menyentuh lengannya lembut.

"Ayahmu baik hati, Sayang. Dia akan tetap melayat." ucapnya.

Tapi...

Tidak, Ayah Calvin tidak pernah sampai ke rumah duka. Sindrom kekentalan darah lebih kejam dari pada yang ia duga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun