*Silvi*
Malam-malamku menjadi lebi indah karenanya. Tidurku lelap karena dirinya. Dialah malaikat tampan bermata sipitku, caregiverku, pendampingku, guru dan konselorku. Namanya selalu kusebut dalam doa-doa sepertiga malamku.
Bahagia hati ini ketika Calvinku memutuskan berhenti mengurus perusahaan. Waktunya lebih banyak di rumah. Ia meretas kebersamaan denganku. Dia penopangku, dia pendampingku yang sangat setia. Calvin menemaniku dari pagi hingga pagi lagi.
Tanyakan padaku, apa yang tidak pernah dilakukannya? Hanya satu: menyakitiku. Selebihnya, Calvin mewarnai hari-hariku dengan pelangi. Calvin membacakan buku yang kusukai. Menceritakan banyak hal baru yang belum kutahu. Dekapan hangatnya melelapkan tidurku. Dia mencium keningku dengan lembut, lalu merengkuhku hingga aku pulas dalam tidur. Damai hati ini tiap kali mendengarkan suara lembutnya.
Calvin membesarkan hatiku. Ia yakinkan diriku untuk terus mengejar mimpi. Calvin percaya, aku pasti bisa. Dialah yang memantik bara semangat di dadaku. Bahwa aku, Silvi Tendean, gadis Manado Borgo bermata biru yang tidak bisa melihat jelas ini, mampu menjadi model. Semangatku bangkit. Aku bisa dan harus bisa membuktikan pada orang-orang spesial. Ya, orang spesial sepertiku bisa modeling.
Tapi...
Mengapa tiap pukul empat pagi ia selalu meminum obat? Mengapa setiap hari Calvinku meminum obat pengencer darah? Ada apa dengannya?
Rahasia itu pun terungkap. Sebuah rahasia yang memecahkan gelembung air mataku. Calvin memiliki kelainan darah. Sekejap ia menyesal telah membongkar rahasianya padaku.
Hatiku dicengkeram ketakutan. Mengapa harus Calvinku? Mengapa Calvinku harus sakit? Sakit yang membuatnya bergantung pada obat-obatan antiplatelet dan antikoagulan setiap hari. Itulah sebabnya Calvin berulang kali mengajariku untuk mandiri dan tidak bergantung padanya. Kupikir ia tidak mau. Ternyata ia takut, takut waktunya habis dan aku susah tanpanya.
Calvinku, mengapa hati ini perih saat memikirkan kemungkinan terpisah darimu? Senja demi senja yang kulewati jadi sendu karena kamu meninggalkanku untuk beristirahat memulihkan tubuhmu. Tak ada yang lebih pedih dari pada kehilangan dirimu. Tak ada yang bisa menggantikan Calvinku.
Sebuah kenyataan, begitu katamu. Kenyataan bahwa tak setiap waktu kau bisa menemaniku. Ya, benar. 9-10 jam tanpamu sungguh berat bagiku. Jangan biarkan diri ini sendirian, Calvinku.
Setiap malam aku bertanya-tanya pada Tuhan. Masihkah ada hari esok untuk aku dan kamu? Masihkah kamu memelukku besok pagi? Sebongkah tanya pun kulayangkan padamu. Masih kuatkah kamu untuk tetap sehat demi diriku? Lelahkah kamu dalam proses belajar memahamiku? Aku selalu menyemangatimu. Agar dirimu tidak menyerah demi diriku.
Kala kecemasan tentang dirimu membesar, hanya air mata yang menjadi tanda. Kugerakkan jemariku di atas tuts piano, kusuarakan keresahan ini dalam lagu.
Seusai itu senja jadi sendu
Awan pun mengabu
Kepergianmu menyisakan duka
Dalam hidupku
'Ku meminta rindu menyesali waktu
Mengapa dahulu tak kuucapkan
"Aku mencintaimu sejuta kali sehari"
Walau masih bisa senyum
Namun tak selepas dulu
Kini aku kesepian
Kamu dan segala kenangan
Menyatu dalam waktu yang berjalan
Dan aku kini sendirian
Menatap dirimu hanya bayangan
Tak ada yang lebih pedih
Daripada kehilangan dirimu
Cintaku tak mungkin beralih
Sampai mati hanya cinta padamu (Maudy Ayunda-Kamu & Kenangan).
*Alea*
Siapakah kamu? Kamu, yang berani merusak tidur dan selera makanku. Siapakah kamu? Kamu, yang membuat hatiku berantakan.
Kukenal pria berkacamata itu sebagai suami mendiang sahabatku. Dia sangat, sangat tampan. Pembawaan santun menyenangkannya menggetarkan hatiku. Sahabatku, benarkah kautitipkan suamimu untuk kujaga?
Semua tentang dirinya telah kuketahui. Dia pria luar biasa. Dua kata untuk melukiskannya: daddyable and husbandable. Walau pria berjas rapi ini tak memiliki anak, panggilan jiwanya sebagai ayah teramat kuat.
Aku tak berani melanggar amanah orang mati. Tapi percayalah, aku menikahinya bukan karena terpaksa. Hati pria ini sempurna untuk dicinta.
Semula, kupikir akan melelahkan menjadi istrinya. Terlebih setelah aku tahu ada masalah dalam darahnya. Ternyata tidak. Pria ini tidak pernah memintaku membuatkan teh di pagi hari, menyetrika jasnya, memasakkan sarapan, dan membersihkan rumah. Dia tidak menikahi wanita sebagai pelayan.
Pria ini pun tidak pernah menyentuhku. Kami bahagia dengan cinta platonis. Kami menikah bukan untuk melegalkan seks, tetapi untuk melegalkan hidup bersama dalam satu rumah.
Tiada paksaan dalam hatiku. Bila pada akhirnya kuputuskan berhenti sejenak mengurusi project kesetaraan gender, itu semua bukan karena dia. Panggilan ini datangnya dari hati. Aku hanya ingin punya lebih banyak waktu dengannya.
*Julia*
Mataku sakit, tetapi aku memaksakan diri tetap mengecek toko bunga. Dorongan sebagai florist tak tertahankan. Dia berkeras mengantarku.
Dengan gallant, pria orientalis itu membukakan pintu mobil untukku. Dikemudikannya mobil pelan-pelan. Ketika traffic light menyala merah, dia genggam tanganku.
Pria orientalis itu membersamai hari-hari panjangku di toko bunga. Dia selalu mendengarkan ocehanku tentang bunga, walau sesungguhnya tak paham. Kutahu ia tidak begitu paham dari pancaran matanya.
Aku mengaguminya karena dia pandai membagi waktu. Dia selalu ada waktu untukku. Di sisi lain, dia masih bisa mengurus anak lain yang tidak tinggal serumah dengannya. Sering kuperhatikan dia mendorong kursi roda anak cantik itu. Si gadis kecil nan cantik tak henti memanggilnya Daddy.
Dusta bila kukatakan aku tak cinta padanya. Tiap hari selalu bersama, bagaimana mungkin tidak meninggalkan rasa? Aku mencintainya, sangat mencintainya.
*Calisa*
Pernikahanku dengannya tidak membuahkan keturunan. Aku pun tak mengharapkannya. Sebab aku tahu persis beberapa masalah dalam tubuhnya.
Kusebut ia lonewulf dan stonehead. Meski begitu, dia saaaangat penyayang. Dia tak pernah menduakanku selama kami menikah.
Si lonewulf berparas tampan ini memperlakukanku layaknya seorang princess. Hatiku meleleh menerima tiap perlakuannya. Eits, bukan hanya padaku. Pada putri angkat kami, dia pun begitu penuh kasih.
Kami mengadopsi seorang anak spesial. Suamiku menyayanginya setulus hati. Bahkan anak special itu lebih dekat dengan ayahnya dari pada denganku. Honestly, aku iri. Iri dengan kemampuannya mengasuh anak.
Istana kecil yang susah payah kami bangun, hancur berantakan. Keluargaku membencinya. Suamiku yang infertil dipaksa meninggalkan aku dan anak angkatku. Mengapa kebencian tertanam begitu kuat hanya karena infertilitas? Realitas sudah terbalik. Biasanya, wanitalah yang disalahkan.
Kurelakan suamiku pergi dengan hati robek. Good bye my lovely.
*Rossie*
Aku jengkel tiap kali dirinya menyebutku bawang. Bawang sama sekali tidak cantik. Aku hanya ingin menjadi bunga, bunga yang cantik. Seperti namaku, Rossie, yang diambil dari kata rose.
Ah, kejengkelanku tidak seberapa. Tidak seberapa dibanding kesabaran dan pengertiannya. Pebisnis merangkap blogger ini selalu menghabiskan masakanku yang jauh dari kata enak. Dia masih bisa tersenyum meski lasagna buatanku terlalu asin, roti panggangku gosong, sup konro buatanku hambar, dan cup cake hasil karyaku kelewat manis. Dia pun tak ragu menemaniku menonton film yang tidak disukainya, mendengarkan lagu yang bukan favoritnya, dan membaca karya sastra yang jauh dari seleranya.
Tak terlontar sepotong pun keluhan bila aku terlalu sibuk di butik. Dia selalu hadir memenuhi undangan fashion show yang kusodorkan. Sesibuk apa pun, blogger ganteng ini tidak pernah absen memberi kabar.
Jangan harap bisa menemukan kata poligami dalam kamus hidupnya. Kalau kami akhirnya berpisah, itu bukan karena perselingkuhan. Tetapi karena keegoisan keluargaku.
Oh Tuhan, maafkan aku. Maafkan aku yang tidak bisa menjaga malaikatMu. Maafkan aku yang gagal mempertahankan pendamping sebaik itu.
*** Â Â
Kompasianers, kalian suka princess yang mana?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H