Aku mengaguminya karena dia pandai membagi waktu. Dia selalu ada waktu untukku. Di sisi lain, dia masih bisa mengurus anak lain yang tidak tinggal serumah dengannya. Sering kuperhatikan dia mendorong kursi roda anak cantik itu. Si gadis kecil nan cantik tak henti memanggilnya Daddy.
Dusta bila kukatakan aku tak cinta padanya. Tiap hari selalu bersama, bagaimana mungkin tidak meninggalkan rasa? Aku mencintainya, sangat mencintainya.
*Calisa*
Pernikahanku dengannya tidak membuahkan keturunan. Aku pun tak mengharapkannya. Sebab aku tahu persis beberapa masalah dalam tubuhnya.
Kusebut ia lonewulf dan stonehead. Meski begitu, dia saaaangat penyayang. Dia tak pernah menduakanku selama kami menikah.
Si lonewulf berparas tampan ini memperlakukanku layaknya seorang princess. Hatiku meleleh menerima tiap perlakuannya. Eits, bukan hanya padaku. Pada putri angkat kami, dia pun begitu penuh kasih.
Kami mengadopsi seorang anak spesial. Suamiku menyayanginya setulus hati. Bahkan anak special itu lebih dekat dengan ayahnya dari pada denganku. Honestly, aku iri. Iri dengan kemampuannya mengasuh anak.
Istana kecil yang susah payah kami bangun, hancur berantakan. Keluargaku membencinya. Suamiku yang infertil dipaksa meninggalkan aku dan anak angkatku. Mengapa kebencian tertanam begitu kuat hanya karena infertilitas? Realitas sudah terbalik. Biasanya, wanitalah yang disalahkan.
Kurelakan suamiku pergi dengan hati robek. Good bye my lovely.
*Rossie*
Aku jengkel tiap kali dirinya menyebutku bawang. Bawang sama sekali tidak cantik. Aku hanya ingin menjadi bunga, bunga yang cantik. Seperti namaku, Rossie, yang diambil dari kata rose.