Siapakah kamu? Kamu, yang berani merusak tidur dan selera makanku. Siapakah kamu? Kamu, yang membuat hatiku berantakan.
Kukenal pria berkacamata itu sebagai suami mendiang sahabatku. Dia sangat, sangat tampan. Pembawaan santun menyenangkannya menggetarkan hatiku. Sahabatku, benarkah kautitipkan suamimu untuk kujaga?
Semua tentang dirinya telah kuketahui. Dia pria luar biasa. Dua kata untuk melukiskannya: daddyable and husbandable. Walau pria berjas rapi ini tak memiliki anak, panggilan jiwanya sebagai ayah teramat kuat.
Aku tak berani melanggar amanah orang mati. Tapi percayalah, aku menikahinya bukan karena terpaksa. Hati pria ini sempurna untuk dicinta.
Semula, kupikir akan melelahkan menjadi istrinya. Terlebih setelah aku tahu ada masalah dalam darahnya. Ternyata tidak. Pria ini tidak pernah memintaku membuatkan teh di pagi hari, menyetrika jasnya, memasakkan sarapan, dan membersihkan rumah. Dia tidak menikahi wanita sebagai pelayan.
Pria ini pun tidak pernah menyentuhku. Kami bahagia dengan cinta platonis. Kami menikah bukan untuk melegalkan seks, tetapi untuk melegalkan hidup bersama dalam satu rumah.
Tiada paksaan dalam hatiku. Bila pada akhirnya kuputuskan berhenti sejenak mengurusi project kesetaraan gender, itu semua bukan karena dia. Panggilan ini datangnya dari hati. Aku hanya ingin punya lebih banyak waktu dengannya.
*Julia*
Mataku sakit, tetapi aku memaksakan diri tetap mengecek toko bunga. Dorongan sebagai florist tak tertahankan. Dia berkeras mengantarku.
Dengan gallant, pria orientalis itu membukakan pintu mobil untukku. Dikemudikannya mobil pelan-pelan. Ketika traffic light menyala merah, dia genggam tanganku.
Pria orientalis itu membersamai hari-hari panjangku di toko bunga. Dia selalu mendengarkan ocehanku tentang bunga, walau sesungguhnya tak paham. Kutahu ia tidak begitu paham dari pancaran matanya.