Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Sebut Aku Orang Indonesia

24 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 24 Juli 2019   06:34 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebut Aku Orang Indonesia

Sejak langit menitikkan air mata, sepasang pria-wanita berparas rupawan itu didera resah. Berulang kali mereka melempar pandang cemas ke luar jendela. Amat berharap sosok yang mereka nantikan segera pulang.

Situasi terbalik, pikir Ayah Calvin gundah. Biasanya, Jose yang menunggu ia pulang dari kantor. Kini dirinyalah yang berharap Jose segera kembali.

Sepercik sesal menetesi hati pria tampan berjas Armani itu. Andai saja dia bisa seharian menemani Jose di rumah. Pertemuan bisnis itu menjadi penghalang. Jika tak ada meeting, mudah sekali Ayah Calvin melimpahkan urusan perusahaan pada tangan kanannya.


Lupakah Ayah Calvin? Wanita cantik berambut pendek dan berhidung mancung di sisinya tak kalah khawatir. Selama Ayah Calvin berkutat mengurusi perusahaan, Bunda Alea menemani Jose. Ia telah melakukan apa pun untuk mencegah Jose keluar rumah. Sayangnya, anak yang baru melewati sesi kedua kemoterapinya itu nekat pergi ke taman kompleks sendirian.

Taman? Entah dia benar-benar pergi ke sana atau tidak. Mungkin saja kakinya melangkah lebih jauh, hingga melewati batas area luar kompleks, tiga rumah Tuhan yang berpelukan mesra, berpapasan dengan penjahat, dan...

Buru-buru Bunda Alea menepis ketakutannya. Tidak, Jose pasti baik-baik saja. Sedih bercampur resah, Bunda Alea merebahkan kepalanya di pundak Ayah Calvin.

"Calvin, maafkan aku. Maaf..." mohonnya.

Jemari Ayah Calvin mendarat pelan di kepala Bunda Alea. Lembut dibelainya rambut istrinya.

"No problem. Kamu sudah menjaganya dengan sangat baik." Ayah Calvin berbisik menenangkan.

"Kuputarkan The Greatest Showman untuknya, kubuatkan susu hangat, kubacakan buku kesukaannya, dan kuajak dia menulis bersama. Tapi dia tetap pergi...dia ingin main keluar katanya." tutur Bunda Alea sedih.

"Wajar, Alea. Jose merasa terkekang. Dia biasa traveling, biasa pergi kemana-mana. Tinggal di rumah untuk beristirahat membuatnya tersiksa."

"Ya, itu juga yang dikatakannya padaku. Berbaring terus membuatnya tambah sakit."

Hujan kian lebat. Resah di jiwa Ayah Calvin dan Bunda Alea bertambah dalam. Mereka telah memerintahkan beberapa pelayan untuk mencari Jose. Hingga detik ini, belum ada sinyal positif.

Tangan Bunda Alea bergerak lemah meraih iPhone. Dicarinya kontak bernama 'my dearest son'. Sejurus kemudian ia tempelkan benda silver itu ke telinganya. Lupa kalau Jose jalan-jalan ke taman tanpa membawa iPhonenya.

Dua hati terpagut dalam cemas. Kamar utama di lantai atas itu disesaki atmosfer negatif. Tak tahan diperbudak kekhawatiran, Ayah Calvin memutarkan musik klasik. Diajaknya Bunda Alea relaxing time. Semenit. Tiga menit. Lima menit...

Pyar!

Kilat menggelegar memecah langit. Kaca-kaca jendela bergetar. Refleks Bunda Alea merapatkan tubuhnya ke tubuh Ayah Calvin.

"Calvin, aku takut." desah Bunda Alea.

"Aku di sini, Alea. Tak perlu takut..."

Lengan Ayah Calvin terentang, bersiap mendekap wanitanya. Tinggal seinci lagi jarak mereka ketika salah seorang asisten rumah tangga menggedor pintu kamar utama. Kemesraan terburai, digantikan selusin tanda tanya.

Dua menit berikutnya, Ayah Calvin dan Bunda Alea tergesa menuruni tangga. Tersayat hati mereka melihat sosok tampan dan pucat yang menghambur masuk ke ruang tamu.

Jose pulang dengan wajah pucat dan tubuh penuh luka. Dia terjatuh ke pelukan Ayah-Bundanya.

"Kenapa bisa begini, Sayang?" tanya Bunda Alea panik.

Kegelisahan tercermin di mata sipit Jose. Dia tak siap melihat kepanikan ibu tirinya. Sebaliknya, Ayah Calvin tetap tenang. Dengan lembut ia mengelus rambut Jose sambil berkata,

"Ayo cerita sama Ayah...pelan-pelan."

Belum sempat cerita terurai. Jose terbatuk. Hidungnya mengalirkan darah segar.

"Tenang, Alea. Please...Jose akan makin tertekan melihat Bundanya mencemaskan dirinya. Kamu bisa panggilkan Dokter Tian?" pinta Ayah Calvin.

"Aku mau bersama anak kita...!" sergah Bunda Alea.

"Princess...please."

Ayah Calvin menggunakan taktik mautnya. Seperti terkena Mantra Imperius, Bunda Alea bangkit. Mencium kedua pipi Jose, lalu melangkah patah-patah meninggalkan ruang tamu.

"Jose mau kan cerita sama Ayah?" bujuk Ayah Calvin.

"Nggak. Jose mau nyanyi aja buat Ayah."

Anak tunggal kelahiran 14 Desember itu tak mau bercerita. Pelan dilepasnya dekapan sang Ayah. Dia tertatih mendekati grand piano cantik yang berdiri anggun di sudut ruang tamu, pelan memainkannya.

Waktu pertama kali

Kulihat dirimu hadir

Rasa hati ini inginkan dirimu

Hati tenang mendengar

Suara indah menyapa

Geloranya hati ini tak kusangka

Rasa ini tak tertahan

Hati ini selalu untukmu

Terimalah lagu ini

Dari orang biasa

Tapi cintaku padamu luar biasa (Andmesh Kamaleng-Cinta Luar Biasa).

Ya, cinta Jose pada Ayah Calvin luar biasa. Jose mencintai Ayah Calvin hari ini, besok, dan selamanya.

**   

"...Mereka menyebutku Ahok kecil karena mataku sipit. Ayah, Ahok itu siapa?" Jose mengakhiri ceritanya dengan sebentuk tanya.

Ayah Calvin terenyak. Ya, Tuhan, mengapa Kaubuat cerita masa kecil Jose seperti dirinya? Dulu, Ayah Calvin pun merasakan hal yang sama. Dihadiahi verbal bbullying, dikenai body shaming, dan dipukuli. Tentu saja waktu itu Ayah Calvin tidak tinggal diam. Dia melawan anak-anak yang memukulinya. Meski pada akhirnya ia kalah dan menangis. Sempat Ayah Calvin bertanya pada diri sendiri: mengapa dia kalah melawan gerombolan anak jahat itu?

"Jangan sebut beliau Ahok, Nak. Panggil BTP, Basuki Tjahaja Purnama. Basuki Tjahaja Purnama adalah Gubernur DKI Jakarta terhebat yang pernah kita punya." jelas Ayah Calvin lembut, lembut sekali.

"Ayah, kenapa kita yang bermata sipit sering diganggu orang lain?" Jose bertanya lagi, sedih.

"Ada orang yang bisa menerima perbedaan dan ada yang tidak, Sayangku."

"Jose mau jadi orang biasa. Jose nggak mau dipanggil orang Cina, orang Tionghoa, atau Ahok kecil. Karena Jose Gabriel Calvin orang Indonesia."

Kedua kalinya Ayah Calvin memberi Jose pelukan hangat. Diciumnya kening pemuda cilik yang membanggakannya itu. Lembut diusapnya noda darah yang masih tersisa.

Revan, anakku pun ingin disebut orang Indonesia, bisik hati kecil Ayah Calvin. Ingatannya melayang pada ucapan Paman Revan bertahun-tahun lalu.

"Mataku biru, tapi panggil aku orang Indonesia. Bukan orang Portugis."

Paman Revan, Ayah Calvin, dan Jose. Mereka yang hanya ingin menjadi orang biasa. Mereka yang ingin sekali dipanggil orang Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun