Mohon tunggu...
Latifah Maurinta
Latifah Maurinta Mohon Tunggu... Novelis - Penulis Novel

Nominee best fiction Kompasiana Awards 2019. 9 September 1997. Novel, modeling, music, medical, and psychology. Penyuka green tea dan white lily. Contact: l.maurinta.wigati@gmail.com Twitter: @Maurinta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Calvin, Jose, Alea] Jangan Tutup Gereja Kami

23 Juli 2019   06:00 Diperbarui: 23 Juli 2019   06:22 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan Tutup Gereja Kami

Luka di hati Bunda Alea memahat perih. Bukan, kabun karena Ayah Calvin nymeakitinya. Pernikahan ini tak sedikit pun membawa intrik rumah tangga yang melukai batin.

Demi Nabi Musa yang masa kecilnya dilewati bersama Asiah, Bunda Alea sungguh tak tega. Andai saja memori itu ada dalam ingatannya saja. Biarlah, tak apa sepanjang hidup dia tersiksa oleh sepotong ingatan. Asalkan jangan orang lain.


"Tinggalkan aku sendiri, Alea." pinta Ayah Calvin, menghindari tatapan mata istrinya.

"No way. Istri macam apa aku bila membiarkanmu sendiri? Luka itu terlalu besar untuk kaubawa sendiri."

Membawa-bawa luka. Sungguh menyakitkan. Bodoh dan tidak berguna kalau kata Paman Adica. Sayangnya, judgement tak sedikit pun melunturkan kesakitan.

Bunda Alea benci situasi ini. Kala suaminya tak lagi hangat hanya gegara luka. Luka besar yang menganga, melebar, dan membentuk luka yang lebih besar lagi di hatinya. Sampai kapan luka itu memenjarakan malaikat cintanya?

Terselip tanya di hati Bunda Alea. Siapakah yang telah menyakiti Ayah Calvin? Siapa yang telah melukai hati lembutnya? Mengapa para pemegang izin itu bersikap sangat diskriminatif? Mengapa pula harus Ayah Calvin?

"Aku tidak akan meninggalkanmu." kata Bunda Alea tegas.

Ayah Calvin terbatuk. Dadanya ditimpa rasa sakit. Luka berhamburan, tepat di hari yang sama dengan setahun lalu.

"Dimana Jose?" tanyanya perlahan.

"Jose pergi bersama Steven. Sepertinya mereka ke gereja. As you know..."

Ah, mengapa harus di hari yang sama? 21 tahun berselang, kejadian sama terulang lagi. Mayoritas memukul minoritas dengan tangan besi. Bayang-bayang buruk berkelebat di benak Ayah Calvin.

"Tidak bisakah kau cegah dia pergi? Dia mendengarkanmu, Alea." Ayah Calvin mengerang putus asa.

"Sudah terlambat. Kupikir tak ada salahnya membiarkan Jose pergi. Kejadian ini dapat membuatnya lebih toleran dan berempati."

Ingin rasanya Ayah Calvin mematahkan rasionalisasi istrinya. Tanpa penutupan gereja pun, Jose sudah terlatih toleran. Empatinya besar. Persahabatan lintas identitas dengan mendiang Andrio, Livio, dan Hito menjadi bukti.

Pria berkacamata itu terbatuk lagi. Susah payah ia bangkit dari posisi berbaringnya. Bunda Alea mengulurkan tangan tanpa kata. Tekanan pengalaman traumatis di masa lalu menjelma jadi batuk psikogenik.

Tangan Ayah Calvin menekan punggungnya. Walau tak terkatakan, Bunda Alea tahu pasti kalau suaminya kesakitan. Ayah Calvin menumpuk beban berat. Kehilangan anggota keluarga, kenyataaan akan kondisinya sendiri, dan masa lalu yang kelam memukulnya di waktu berdekatan.

Lembut dan penuh cinta, Bunda Alea memapah Ayah Calvin ke kursi piano. Diperhatikannya Ayah Calvin yang menarikan jarinya di atas piano. Tanpa nyanyian. Hanya menyisakan denting lembut.

**   

Menatapmu tak lagi mampu

Kau telah menyatu dalam hidupku

'Ku telah menunggu di batas waktu

Kau akan pergi tinggalkan diriku

Aku tak percaya semua ini nyata

Kepergianmu untuk selama-lamanya

Kuingin lebih lama kau ada di dunia

Tapi semua itu tak mungkin adanya

Cintamu abadi selama hidupku

Permintaanku hanya satu

Habiskan waktu terakhirmu

Bersamaku selalu menunggu

Di batas waktu (Isyana Sarasvati-Di Batas Waktu).

**   

Ini batas waktu. Batas waktu terakhir mereka berkumpul di bangunan bercat biru laut. Kala nanti hari berganti, mata mereka takkan mampu melihat salib besar itu, telinga mereka takkan mampu mendengar dentang lonceng pemanggil Doa Malaikat Tuhan, dan bibir mereka takkan bisa lagi menyanyikan Anak Domba Allah di dalam sana.

Pilu, pilu menusuk-nusuk jiwa. Hati yang merana belum menemukan penawar. Romo, Frater yang sedang TOP, Diakon, Prodiakon, Suster, Bruder, Misdinar, Misbinar, Dewan Paroki, ketua lingkungan, ketua stasi, anggota Legio, umat, dan koster menitikkan air mata. Semuanya larut dalam duka dan kehilangan.

Kehilangan tempat ibadah bagai kehilangan atap untuk berteduh. Dimana lagi mereka akan Misa? Dimana lagi mereka akan menyimpan benda-benda rohani dan menggunakannya dengan tenang? Minoritas terusir dari rumah ibadahnya sendiri.

"Minggu depan kita mau Misa dimana?" ratap Steven.

Tabernakel menangis. Patung-patung menjerit. Lukisan Santo-Santa meratap. Rosario menerikkan kenangan. Piala-piala membisu. Tumpukan buku Baptis yang belum sempat tersentuh menuntut ditandatangani. Salib berduka. Lonceng bersedih. Altar meraung pilu.

Semua bersedih. Semuanya, semuanya. Termasuk anak berparas tampan yang duduk di samping Steven. Beda kepercayaan tak sanggup menghalangi serbuan kesedihan.

Hati Jose tak kalah berantakan. Betul dia tak pernah beribadah di sini. Benar bahwa dia tidak pernah merasakan jadi pembaca Injil, putra altar, atau pemeran drama Natal. Tak perlu menjadi sesuatu untuk memahaminya. Jose paham, paham sepaham-pahamnya.

"Jangan tutup gereja ini!" jerit seorang putri altar histeris.

"Gereja ini bukan milik kita lagi..."

"Pokoknya aku nggak pernah mau makan es krim di sini nanti!"

Kedua tangan Steven terkepal. Tekad membara di matanya.

"Aku harus jadi Pastor. Nggak boleh ada kejadian kayak gini lagi."

Jose memuji tekad kuat Steven. Ia berdoa agar cita-cita sahabatnya terwujud. Cara terbaik untuk membalas dendam adalaah menjadi istimewa.

"Nanti kita bangun gereja lagi...yang lebih megah, yang lebih bagus. Kita cari tempat yang agak jauh, biar nggak diintervensi lagi." cetus seorang bapak berambut putih, nadanya berapi-api.

"Payah. Makin banyak orang sentimen dan mabuk agama." komentar seorang nenek yang paling rajin ikut Misa harian.

Intervensi? Sentimen? Jose mencatat kata-kata itu di pikirannya. Dua kata itu menghembuskan energi negatif. Sampai di rumah, dia berniat menanyakannya pada Bunda Alea dan Ayah...

Ayah Calvin? Bukankah Jose masih kecewa padanya? Kecewa itu mengendap, berlarut-larut. Belum ada penyelesaiannya.

Belakangan ini, Ayah Calvin sering mengguratkan kekecewaan. Ayah meninggalkannya kelewat lama. Ayah yang membiarkan kejahatan orang mabuk agama di depan hidungnya. Namun, haruskah kecewa itu bertahan selamanya?

"Jose Sayang..."

Sebuah panggilan lembut menyadarkannya. Bunda Alea berjalan anggun ke dalam gereja. Lengan-lengan mulusnya mendekap Jose erat. Ujung hidungnya menyentuh puncak kepala Jose.

"Ayo pulang, Nak. Ayah mencarimu," bujuknya halus.

Jose membeku seperti patung lilin di Museum Madame Tussauds. Wajah tampannya hampa tanpa ekspresi.

"Pulang ya, Nak. Ayah menunggu..."

Steven mendorong bahunya pelan. Mengisyaratkan Jose menuruti ajakan Bunda Alea.

"Tapi aku masih mau di sini. Kasihan Stteven," dalih Jose.

"Aku nggak apa-apa kok. Aku masih lama di sini. Pulanglah, Jose."

Dengan berat hati, Jose bangkit. Berpamitan pada semua orang, lalu berjalan pergi bersama Bunda Alea. Hatinya digayuti kesedihan.

Sepanjang jalan, Jose menyalahkan Ayahnya dalam hati. Enak saja Ayah Calvin menginginkannya pulang. Sementara dia sendiri? Jose sering ditinggal-tinggal dan dikecewakan.

"Kok anak Bunda cemberut terus sih? Masih sedih ya?"

Pertanyaan Bunda Alea hanya dijawab anggukan singkat. Bunda Alea mempererat genggamannya.

"Sekarang Bunda tanya. Siapa yang duluan hadir di hidup Jose? Ayah atau Steven?"

"Ayah. Steven kan baru pindah beberapa bulan."

"Siapa yang tiap malam nemenin Jose tidur, bacain buku, masakin makanan Oriental, dan peluk Jose kalau kesakitan?"

"Ayah."

Bibir Bunda Alea menekuk membentuk segaris senyum simpul. "Nah...berarti, Ayah dong yang lebih penting."

Kerak-kerak es berjatuhan di dinding hati Jose. Ia akui itu. Ya, dia sempurna mengakuinya.

"Come on, my dearest son...udahan ya, kecewa sama Ayah. Ayah sayang banget sama Jose. Masa Jose nggak percaya sih?" Nada suara Bunda Alea merayu.

Kaki mereka berbelok ke halaman rumah. Tergesa Jose melepas sepatunya, menaiki tangga marmer. Ia berlari ke pelukan Ayahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun