Di batas waktu (Isyana Sarasvati-Di Batas Waktu).
** Â Â
Ini batas waktu. Batas waktu terakhir mereka berkumpul di bangunan bercat biru laut. Kala nanti hari berganti, mata mereka takkan mampu melihat salib besar itu, telinga mereka takkan mampu mendengar dentang lonceng pemanggil Doa Malaikat Tuhan, dan bibir mereka takkan bisa lagi menyanyikan Anak Domba Allah di dalam sana.
Pilu, pilu menusuk-nusuk jiwa. Hati yang merana belum menemukan penawar. Romo, Frater yang sedang TOP, Diakon, Prodiakon, Suster, Bruder, Misdinar, Misbinar, Dewan Paroki, ketua lingkungan, ketua stasi, anggota Legio, umat, dan koster menitikkan air mata. Semuanya larut dalam duka dan kehilangan.
Kehilangan tempat ibadah bagai kehilangan atap untuk berteduh. Dimana lagi mereka akan Misa? Dimana lagi mereka akan menyimpan benda-benda rohani dan menggunakannya dengan tenang? Minoritas terusir dari rumah ibadahnya sendiri.
"Minggu depan kita mau Misa dimana?" ratap Steven.
Tabernakel menangis. Patung-patung menjerit. Lukisan Santo-Santa meratap. Rosario menerikkan kenangan. Piala-piala membisu. Tumpukan buku Baptis yang belum sempat tersentuh menuntut ditandatangani. Salib berduka. Lonceng bersedih. Altar meraung pilu.
Semua bersedih. Semuanya, semuanya. Termasuk anak berparas tampan yang duduk di samping Steven. Beda kepercayaan tak sanggup menghalangi serbuan kesedihan.
Hati Jose tak kalah berantakan. Betul dia tak pernah beribadah di sini. Benar bahwa dia tidak pernah merasakan jadi pembaca Injil, putra altar, atau pemeran drama Natal. Tak perlu menjadi sesuatu untuk memahaminya. Jose paham, paham sepaham-pahamnya.
"Jangan tutup gereja ini!" jerit seorang putri altar histeris.
"Gereja ini bukan milik kita lagi..."