"Pokoknya aku nggak pernah mau makan es krim di sini nanti!"
Kedua tangan Steven terkepal. Tekad membara di matanya.
"Aku harus jadi Pastor. Nggak boleh ada kejadian kayak gini lagi."
Jose memuji tekad kuat Steven. Ia berdoa agar cita-cita sahabatnya terwujud. Cara terbaik untuk membalas dendam adalaah menjadi istimewa.
"Nanti kita bangun gereja lagi...yang lebih megah, yang lebih bagus. Kita cari tempat yang agak jauh, biar nggak diintervensi lagi." cetus seorang bapak berambut putih, nadanya berapi-api.
"Payah. Makin banyak orang sentimen dan mabuk agama." komentar seorang nenek yang paling rajin ikut Misa harian.
Intervensi? Sentimen? Jose mencatat kata-kata itu di pikirannya. Dua kata itu menghembuskan energi negatif. Sampai di rumah, dia berniat menanyakannya pada Bunda Alea dan Ayah...
Ayah Calvin? Bukankah Jose masih kecewa padanya? Kecewa itu mengendap, berlarut-larut. Belum ada penyelesaiannya.
Belakangan ini, Ayah Calvin sering mengguratkan kekecewaan. Ayah meninggalkannya kelewat lama. Ayah yang membiarkan kejahatan orang mabuk agama di depan hidungnya. Namun, haruskah kecewa itu bertahan selamanya?
"Jose Sayang..."
Sebuah panggilan lembut menyadarkannya. Bunda Alea berjalan anggun ke dalam gereja. Lengan-lengan mulusnya mendekap Jose erat. Ujung hidungnya menyentuh puncak kepala Jose.