Mendengar itu, Jose terperangah. Kelas hening total seolah tak ada yang bernafas. Jadi, itu sebabnya? Mengapa rasa panas menjalari wajah dan kulit pipinya? Mengapa orang-orang menatapnya aneh? Jelas mereka jijik. Jose Gabriel Calvin yang tampan mendadak berubah.
Steven memegang erat tangannya. Jose melepasnya kasar. Tanpa kata, Jose berlari meninggalkan kelas. Sementara lupa dengan norma kesopanan.
Di luar kelas, Jose bingung harus mengadukan sedih dan malunya kemana. Tak terpikir olehnya untuk ke ruang musik atau lapangan basket. Justru satu ruangan di sayap kanan gedunglah yang diingatnya. Jose pun mengarahkan kakinya ke sana.
Tangannya gemetar hebat saat mengetuk pintu ruangan direktur. Pikirnya, pemilik ruangan itu pasti masih mengajar. Ternyata...
"Jose, Sayang, ada apa?"
Pintu mengayun terbuka. Ayah Calvin membungkuk, mendekatkan wajahnya ke wajah Jose.
Didatangi anak yang bermasalah bukan hal baru baginya. Ayah Calvin terbiasa mendengarkan curhatan, mendamaikan pertengkaran, dan memberi konseling untuk anak-anak didiknya. Tiap kali hari mengajarnya tiba, ada saja beberapa anak yang datang padanya.
Selama sepersekian menit Jose terdiam. Seluruh kata terkunci di ujung lidahnya. Tidak, dia tak mau bicara. Dirinya masih terlalu kecewa dengan Ayah Calvin. Ayah Calvin yang terlalu lama meninggalkannya.
"Sayang...anakku, kamu pasti tidak suka break out di wajahmu ya? Ini salah satu gejala Polisitemia vera, Nak. Dokter Tian sudah pernah cerita sama Ayah." Seraya berkata begitu, Ayah Calvin menyentuh pelan wajah Jose.
Masih tak ada kata terlontar. Ayah Calvin menarik nafas dalam, lalu menuntun putra tunggalnya masuk. Ia dudukkan Jose di sofa, tepat di samping upright piano.
"Ayah tahu ini berat. Tapi masih bisa disembuhkan. Nanti kita minta Dokter Tian memberi obat untuk menghilangkannya ya..."