"...Minggu besok, aku jadi putra altar. Kamu mau liat aku jadi Misdinar nggak?" celoteh Steven.
"Memangnya boleh?" Jose bertanya balik.
"Boleh kok. Bulan kemarin ada dua kakak-kakak berhijab datang ke Misa. Romo bolehin mereka duduk di bangku umat."
Wow, menarik. Waktu ketiga sahabatnya masih hidup, Jose hanya mengantar mereka sampai ke halaman rumah ibadah. Tidak sampai menyaksikan prosesi ibadahnya.
Tak sempat Jose menerima tawaran menarik ini. Terdengar kegaduhan di koridor. Silvi, Sharon, dan anak-anak perempuan berlarian sambil meneriakkan sesuatu.
"Ayah Calvin datang! Ayah Calvin datang!"
"Jose, itu Ayahmu." Steven menyikut rusuknya, tapi Jose tak bergeming.
Biarkan saja. Dia tak mau bertemu Ayahnya. Bukankah Ayah Calvin mengabaikannya?
Alih-alih Jose, Stevenlah yang antusias. Kedua kakinya digerakkan secepat mungkin menyusul para murid. Tak sabar ingin bertemu pemberi beasiswanya.
Diam-diam Jose menyaksikan para murid begitu dekat dengan Ayah Calvin. Mereka berebutan memeluk pria tampan berkacamata itu. Ayah Calvin tak keberatan jas mahalnya kotor kena keringat, ingus, dan air mata siswa-siswinya. Mereka rindu Ayah Calvin. Rindu diajar musik olehnya, rindu curhat padanya, dan rindu mendengar solusi cerdasnya. Khusus anggota marching band, mereka rindu semangat yang dilontarkan sang mentor.
Ayah Calvin pucat sekali, bisik hati Jose. Mungkin Ayahnya memaksakan diri datang ke sekolah di tengah masa perkabungan. Ayah Calvin datang demi cinta pada murid-muridnya.